"Itu yang kita juga harus lakukan negosiasi ulang. Beban terberat saya rasa itu," kata Erick.
Adapun saat ini Garuda Indonesia tercatat memiliki utang 4,9 miliar dolar AS atau setara Rp 70 triliun. Angka tersebut meningkat sekitar Rp 1 triliun setiap bulan karena terus menunda pembayaran kepada pemasok.
Bila dirinci berdasarkan pendapatan Mei 2021 Garuda Indonesia hanya memperoleh sekitar US$ 56 juta. Pada periode yang sama perusahaan harus membayar sewa pesawat US$ 56 juta, perawatan pesawat US$ 20 juta, bahan bakar avtur US$20 juta, dan gaji pegawai US$ 20 juta.
Kementerian BUMN sangat menghindari kemungkinan opsi Garuda dinyatakan pailit, sehingga proses hukumnya harus benar-benar tepat. Harapannya, ada kesepakatan dari seluruh kreditur untuk restrukturisasi GIAA.
Namun pada sisi lain, Kementerian BUMN juga mengharapkan biaya di dalam perseroan juga menurun, sehingga mau tidak mau struktur biaya harus dipotong lebih rendah.
Berdasarkan informasi Kementerian BUMN, saat ini Garuda Indonesia memiliki cost sekitar US$ 150 juta per bulan, sementara revenue US$ 50 juta. Jadi setiap bulan rugi US$100 juta.
Dengan demikian, proses bisnis yang seperti ini sudah tidak mungkin lagi dilanjutkan apalagi dengan kondisi tekanan terhadap keuangan Garuda saat ini.
Sejauh ini Garuda Indonesia telah mengambil langkah menawarkan pensiun dini kepada karyawan dan memangkas jumlah pesawat operasional hingga separuhnya.
BISNIS
Baca juga: Pendapatan Anjlok 90 Persen, Bos Garuda Indonesia: Pandemi Hit-nya Gila-gilaan