Adapun pasar modal sekaligus Direktur Ekuator Swarna Investama, Hans Kwee mengatakan, bahwa kode broker tidak relevan dengan aksi beli dan jual institusi atau big fund. Sebab, institusi tidak hanya bertransaksi di broker tertentu, tapi bisa di broker yang selama ini dianggap broker tempat transaksi ritel.
Hans menjelaskan, saat ini investor ritel dan institusi bisa membuka rekening dari berbagai broker. Dengan begitu, cukup sulit untuk menentukan apakah investor tersebut merupakan investor ritel atau institusi.
Selain itu, kata Hans, informasi kode broker ini sebenarnya tidak dipakai pada analisa fundamental dan teknikal. Ini juga tidak dipakai oleh investor institusi untuk pembelian, dan seharusnya ini tidak masalah. "Kita mendidik investor kita untuk lebih pintar dalam membeli saham,” ucapnya.
Dalam teknikal analisis sejak dari tahun 1930 atau candlestick dari tahun 1900, menurut Hans, informasi kode broker tidak pernah digunakan. “Bid offer juga enggak dipakai karena tidak ada cost atau biaya untuk memasang order, berbeda dengan transaksi done yang merupakan informasi yang lebih relevan,” ucap Hans.
Eks Direktur Utama PT Bursa Efek Jakarta Hasan Zein Mahmud sebelumnya menilai rencana itu bakal menurunkan kualitas transparansi dan level playing field dalam perdagangan. Bagi para traders, info transaksi para broker menjadi relevan dan merupakan informasi yang sensitif.
Lebih jauh, menurut Hasan, yang perlu diatur sebetulnya adalah aksi pom-pom saham yang kerap menggiring investor untuk masuk ke saham tersebut ketimbang mengatur kode broker. Hal itu bisa dikurangi bila para buzzers, pom-pom, influencers, ditampilkan di depan publik, serta dibuat aturan tata cara dan kode etik.
BISNIS
Baca: Tolak Penghapusan Kode Broker oleh BEI, 2.690 Warganet Teken Petisi