TEMPO.CO, Jakarta - Persoalan terkait sertifikat tanah elektronik beberapa waktu terakhir terus mencuat. Berbagai isu muncul mulai dari kabar penarikan sertifikat fisik (analog), keamanan data, hingga potensi kelemahan di dalamnya.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil pun menjelaskan bahwa pemberlakuan sertifikat elektronik ini membutuhkan waktu. Sehingga, sertifikat analog atau berbentuk fisik yang saat ini dipegang masyarakat masih tetap berlaku, sampai dialihkan dalam bentuk elektronik.
"Jadi banyak sekali salah paham, banyak sekali kekeliruan, banyak sekali orang mengutip di luar konteks, seolah dengan hak elektronik ini akan ditarik, itu tidak benar," kata Sofyan pada Kamis, 4 Februari 2021.
Tempo merangkum sejumlah fakta-fakta di balik rencana penerapan sertifikat tanah elektronik ini, berikut di antaranya:
1. Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 2021
Payung hukum mengenai sertifikat elektronik ini sudah diteken oleh Sofyan pada 12 Januari 2021. Beleid ini mengatur berbagai aspek, mulai dari pendaftaran sertifikat tanah, penerbitan, hingga pemeliharaan data.
2. Menggunakan QR Code
Salah satu komponen yang terdapat di dalamnya adalah QR Code. Ini merupakan kode berisi data terenkripsi yang digunakan untuk mengakses informasi langsung dokumen elektronik melalui sistem yang disediakan oleh Kementerian. Lalu, ada juga sebuah QR code untuk menunjukkan bidang yang dimaksud pada peta.atrbpn.go.id.
3. Sertifikat Analog Ditarik, Jika ...
Setelah beleid ini diteken, muncul kabar bahwa sertifikat analog akan ditarik. Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dwi Purnama mengatakan sertifikat analog baru akan ditarik, ketika pemiliknya ingin menggantinya menjadi sertifikat elektronik.