Ganja untuk penggunaan medis sebelumnya telah banyak digunakan dalam beberapa tahun terakhir. Adapun produk yang mengandung turunan ganja seperti cannabidiol atau CBD, senyawa nonintoxicating, telah membanjiri industri kesehatan.
Di dalam negeri, Kementerian Pertanian telah mencabut Keputusan Menteri Nomor 104 Tahun 2020 yang mencakup aturan tentang komoditas binaan pertanian. Beleid yang diteken Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada 3 Februari 2020 itu memasukkan ganja sebagai salah satu tanaman obat binaan.
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian Tommy Nugraha dalam keterangannya pada akhir Agustus lalu menjelaskan, ganja tergolong jenis tanaman obat psikotropika. Pada 2006, komoditas itu masuk kelompok obat sesuai dengan Keputusan menteri Pertanian Nomor 511 Tahun 2006.
Karena itu, sejak 2006, pemerintah telah memusnahkan ganja yang ditanam petani. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2020 tentang Holtikultura, budidaya tanaman yang merugikan kesehatan masyarakat pun hanya dapat dilakukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau ilmu pengetahuan tertentu dan pengembangannya ditentukan oleh undang-undang.
Namun keputusan pemerintah itu disesalkan oleh Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Dhira Narayana. "Kami sangat berharap agar Bapak Syahrul Yasin Limpo kembali menetapkan Kepmentan 104 Tahun 2020 yang memposisikan ganja sebagai komoditas tanaman obat," kata Dhira dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin, 31 Agustus 2020.
Dhira mengaku teleponnya juga tidak berhenti berdering sejak adanya kabar tersebut. Selama ini, LGN adalah salah satu kelompok yang mendorong legalisasi ganja karena memiliki berbagai manfaat. Salah satunya dalam bidang medis, yaitu untuk kemoterapi bagi penderita kanker.
Lebih jauh Dhira mencontohkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang telah lebih dahulu meneliti dan memanfaatkan ganja untuk tujuan pengobatan. "Banyak sekali warga masyarakatnya yang dapat tertolong," kata dia.
BISNIS | FAJAR PEBRIANTO