Namun, kata Ali, dalam PP itu tidak disebutkan hak milik sarusun dan hanya dikatakan bisa memiliki sarusun di atas hak pakai, apakah itu berupa hak milik sarusun atau hak pakai atas sarusun. Saat ini, hampir semua apartemen yang dijual memiliki hak guna bangunan (HGB) dan bukan hak pakai.
“Bila WNA bisa memiliki dengan hak pakai, bagaimana proyek-proyek apartemen yang saat ini memiliki HGB. Apakah bisa langsung diberikan hak milik atas sarusun kepada WNA? Itu akan menyalahi aturan kepemilikan. Bila tidak, apakah semua proyek apartemen harus dialihkan dulu menjadi Hak Pakai?” ucap Ali.
Oleh karena itu, menurut Ali, pemerintah harus menjelaskan secara jelas soal hal ini agar tak membuat kebingungan pasar. Beberapa hal itu yang harus ditegaskan melalui turunan UU Cipta Kerja terkait aturan kepemilikan asing di apartemen.
Ali pun mempertanyakan efektifitas dari Omnibus Law UU Cipta Kerja bila benar untuk mendorong agar WNA bisa mengantongi hak milik atas apartemen tersebut. Sebab, sejak PP yang dikeluarkan pada 2015, WNA belum tertarik membeli apartemen di Indonesia. “Bisa jadi masih ruwetnya proses kepemilikannya sehingga mereka pun tidak terlalu antusias.”
Ia mengaku tak mempermasalahkan jika banyak pihak yang menilai kepemilikan WNA menjadi angin segar bagi pasar apartemen. Namun, dia menggarisbawahi bahwa hal ini belum tentu serta merta menarik minat asing untuk membeli apartemen, apalagi mendongrak penjualan apartemen.
“Jangan dibalik logika pasarnya. Dengan aturan yang sudah baik pun, belum tentu WNA akan tertarik beli apartemen di Indonesia bila tidak disertai dengan kepastian hukum, stabilitas ekonomi politik, dan iklim investasi yang baik,” kata Ali.
BISNIS
Baca: Harga Apartemen di Jakarta Melejit, Bagaimana Nasib Milenial?