Selain itu, Benny mengatakan pelaku UMKM masih melakukan pembayaran dari pedagang secara tunai, sementara pedagang mengekspor itu menggunakan Letter of Credit baik itu yang jatuh temponya atas unjuk (sight) atau pun yang jatuh temponya berjangka sesuai dengan tenornya (unsane).
"Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) harus mendukung dengan instrumen pembiayaan non-bank. Yang dijadikan collateral (jaminan) adalah tagihan hasil ekspor dan dijamin oleh Asuransi Eksport (ASEI)," tutur Benny.
Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Handito Joewono mengusulkan agar pelaku UMKM tidak dipaksakan untuk menjadi produsen eksportir, melainkan produsen produk ekspor saja. Pedagang ekspornya, ujar Handito, bisa menggunakan produk UMKM. "Selain itu, perlu pengembangan kepercayaan dan kapasitas produksinya," ujar Handito.
Direktur Utama Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan UKM (Smesco Indonesia) Leonard Theosabrata mengatakan target kenaikan ekspor hingga 28 persen pada 2024 itu merupakan target jangka panjang. Menurut Leo, Smesco sudah memulai dari beberapa langkah seperti pelatihan dan pendampingan. Langkah tersebut, juga difasilitasi baik secara online atau offline.
Apabila sudah tahapan tersebut telah dilalui, Leo menuturkan Smesco mulai mengarahkan kepada perdagangan yang lebih komprehensif, misalnya dengan menaikkan angka penjualannya. "Pada tahap itu kami tak bicara ekspor dulu, tetapi distribusi lokal termasuk on boarding digital, pembinaan, dan supply material. Tahun depan, kita mulai bicara ekspor," ujar Leo.
Baca juga: Jokowi Minta Banpres Produktif UMKM Tidak Dipakai untuk Konsumtif
LARISSA HUDA