TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor bahan baku / penolong pada Juni 2020 sebesar US$ 7,58 miliar, atau tumbuh 24,01 persen dibandingkan Mei 2020. Barang modal juga mengalami peningkatan nilai impor sebesar 27,35 persen secara bulanan menjadi US$ 1,77 miliar. Komoditas bahan baku / penolong yang mengalami peningkatan impor antara lain bijih besi, serta gula dan kembang gula. Sementara itu, barang modal yang impornya melonjak antara lain laptop, serta mesin dan peralatan mekanis.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede berujar kenaikan impor bahan baku / penolong dan barang modal pada Juni lalu, merupakan dampak dari pelonggaran kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pembukaan aktivitas ekonomi secara bertahap.
“Tren positif dari aktivitas manufaktur ini bisa terus berlanjut asalkan penyebaran virus Covid-19 di Indonesia dapat terus dikendalikan,” katanya, Rabu 15 Juli 2020. Josua menuturkan apabila penyebaran virus tidak dapat dikendalikan, maka dikhawatirkan kembali terjadi penurunan produktivitas para pekerja, dan berujung pada terhambatnya aktivitas industri secara keseluruhan.
Secara keseluruhan, nilai impor pada Juni 2020 mencapai US$ 10,76 miliar, naik 27,56 persen dibandingkan Mei 2020, namun masih turun 6,36 persen jika dibandingkan dengan Juni 2019. Di sisi lain, nilai ekspor tumbuh 15,09 persen secara bulanan menjadi US$ 12,03 miliar, serta meningkat 2,28 persen secara tahunan.
Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2020 mengalami surplus sebesar US$ 1,27 miliar. “Kami berharap tren positif ini terus berlanjut,” kata Suhariyanto, Kepala BPS.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan surplus neraca dagang kali ini tidak sepenuhnya menggembirakan. Alih-alih disebabkan oleh kenaikan ekspor, surplus yang terjadi lebih disebabkan oleh penurunan impor yang lebih besar ketimbang penurunan ekspor.
“Ini artinya aktivitas ekonomi produktif kita memant masih terhenti,” ujarnya. Menurut Piter, surplus yang terjadi belum menunjukkan perubahan struktur ekonomi yang lebih baik. “Ini juga berarti perbaikan neraca perdagangan belum diyakini berkelanjutan.”