TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengklaim semua lembaga keuangan bank dan non-bank sepakat untuk menjalankan restrukturisasi kredit di masa pandemi corona ini. Karena itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso heran dengan kabar bahwa sejumlah lembaga keuangan tidak mau melakukan restrukturisasi.
“Kami cek memang tidak ada, semua ikut,” kata Wimboh dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Senin, 11 Mei 2020.
Menurut Wimboh, restrukturisasi kredit merupakan salah satu bentuk insentif bagi lembaga keuangan. Jika dilakukan restrukturisasi, maka nasabah yang menunggak pokok pinjaman dan bunga, akan dikategorikan lancar bukan sebagai Non Performing Loan (NPL) alias kredit macet. “Sehingga tidak ada tekanan pada NPL,” kata dia.
Hingga Maret 2020, OJK memang mencatat kredit macet naik. Dari 2,53 persen pada Desember 2019, menjadi 2,77 persen. Namun, kebanyakan dari kredit macet itu terjadi setelah Corona. “Jadi jika tidak ada Covid-19 pun, barangkali kondisinya (kredit yang macet) juga sudah parah, kata dia.
Meski demikian, kondisi di lapangan berbeda. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Suryani Motik beberapa waktu lalu mengatakan penolakan atas restrukturisasi kredit masih terjadi. Sehingga, belum semua pengusaha bisa mendapatkan fasilitas tersebut.
Pengusaha pun juga keberatan dengan batas restrukturisasi kredit sebesar Rp 10 miliar yang ditetapkan OJK. Sebab, banyak kredit di atas Rp 10 miliar yang juga terdampak Covid-19.
Salah satunya dirasakan oleh pengusaha bus NPM asal Sumatera Barat. Pemilik PO Bus ini, Angga Vircansa Chairul, mengatakan harga satu bus saja Rp 1,5 miliar. Jika 10 bus berarti Rp 15 miliar. “Otomatis tidak eligible dengan ketentuan OJK,” kata Angga.