Tempo.Co, Jakarta - Sejumlah pengusaha tekstil meminta kepada pemerintah agar tidak ada pembatasan aktivitas di pabrik, sepanjang mereka terus melalukan upaya mitigasi. Pernyataan itu disampaikan di tengah penyebaran virus corona atau Covid-19 yang terus meluas dan adanya wacana untuk memberlakukan lockdown atau penutupan sementara sejumlah aktivitas bisnis.
"Kami memohon agar tidak dilakukan lockdown karena justru akan membuat permasalahan baru di kemudian hari," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta dalam keterangan resmi bersama Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yang diterima Tempo di Jakarta, Kamis, 19 Maret 2020.
Sebelumnya desakan agar Indonesia melakukan lockdown muncul setelah kasus virus corona terus beranjak naik hingga lebih dari 200 kasus. Kebijakan ini telah lebih dulu diterapkan di negara lain, misalnya Italia, dan yang terdekat, Malaysia.
Tapi sampai saat ini, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah belum memilih opsi ini. Pemerintah lebih memilih menyiapkan pusat penampungan atau karantina ketimbang memutuskan kebijakan-kebijakan penguncian wilayah atau lockdown.
Saat ini, kata Redma, para pengusaha tekstil juga sudah melakukan antisipasi. Pertama, mereka memberlakukan kebijakan kerja dari rumah atau work from home (WFH) untuk karyawan di bidang administrasi. Sementara, karyawan yang mengurus mesin tetap harus ke pabrik. "Sejak Februari 2020, setiap orang juga wajib menggunakan masker dan mengecek suhu tubuh," kata dia.
Sampai saat ini, Redma memastikan operasional pabrik masih berjalan lancar tanpa hambatan. Untuk itu, Ia berharap pemerintah terus menekan penyebaran virus ini, namun tidak sampai dengan melakukan kebijakan lockdown. "Kami menghindari lockdown," ujar Redma.
Tak hanya Redma, Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) Sarman Simanjorang mengatakan pemerintah harus ekstra hati-hati untuk mengambil kebijakan lockdown. Meski belum menghitung jumlah pastinya, dia memprediksi kerugian ekonomi akibat lockdown sangat besar.
"Nilai kerugian memang harus dihitung karena hampir semua sektor usaha akan stagnan. Pastinya triliunan (rupiah) transaksi ekonomi di Jakarta akan berhenti," katanya ketika dikonfirmasi, Selasa 17 Maret 2020.