Tempo.Co, Jakarta - Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Firman Soebagyo mengatakan hingga hari ini belum menerima draf rancangan undang-undang Omnibus Law dari pemerintahan. Hal itu karena pemerintah masih melakukan harmonisasi di tingkat kementerian.
"Sampai hari ini kami belum menerima draf UU ataupun naskah akademik, termasuk Surpres (Surat Presiden)," kata Firman saat diskusi Omnibus Law dengan serikat pekerja di Upnormal Wahid Hasyim, Jakarta, Ahad, 26 Januari 2020.
Dia menuturkan RUU Omnibus Law adalah undang-undang inisiatif pemerintah, yang merupakan lanjutan dari pembahasan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 13 yang mau direvisi. Menurutnya, pembahasan revisi aturan itu sudah hampir final sebelum pelantikan presiden lalu.
"Tetapi mungkin karena pemerintahan punya pemikiran lain, maka ditunda. Setelah Omnibus Law ini, maka UU ini menjadi bagian dari 11 kluster yang akan dibahas itu," ujarnya.
Dia mengatakan tahap harmonisasi yang yang sekarang sedang dilakukan pemerintahan seharusnya melihatkan semua stakeholder. Kendati masih banyak pihak yang belum puas khususnya serikat pekerja, Firman menegaskan, setelah draf selesai di pemerintahan, aturan belum final secara pembahasan undang-undang.
"Karena ketika harmonisasi akhir pemerintah muncul Surpres, presiden maka dikirim ke DPR dan DPR akan bahas. Kami akan bahas secara transparan," ujar dia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law Perpajakan akan diserahkan ke DPR pada pekan depan. Dengan begitu, dia berharap pembahasan bisa rampung dalam waktu yang tidak lama.
"Maksimal minggu depan kami ajukan kepada DPR yang namanya Omnibus Law," kata Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2020 di Ritz Carlton Pasific Place, Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020.
Dia menuturkan RUU Omnibus Law mencakup revisi dari 79 undang-undang yang terdiri dari 1.244 pasal. Pasal yang direvisi itu, kata dia, akan memangkas hal yang selama ini menghambat masuknya investasi ke dalam negeri.
Dia menegaskan Omnibus Law itu diperlukan karena perubahan dunia yang berlangsung dengan cepat. Selama ini, kata dia, Indonesia sulit merespons perubahan tersebut karena terhalang oleh banyaknya aturan.
"Pasal-pasal ini yang menghambat kecepatan kita dalam bergerak dan memutuskan respons pada setiap perubahan-perubahan yang terjadi di dunia. Dunia itu berubah cepat sekali, setiap hari dan detik, itu mempengaruhi ekonomi kita," kata dia.
HENDARTYO HANGGI