"Proses itu berjalan 1-4 tahun, lalu ada skema-skema yang lain yang kita lakukan. Yang jelas ada kepastian akan ada cashflow yang bergulir karena tidak boleh stop. Yang kita stop adalah oknum-oknum yang merampok Jiwasraya," tutur Erick.
Dalam kasus Jiwasraua ini, Kejaksaan Agung memprediksi negara berpotensi mengalami kerugian Rp 13,7 triliun. Kerugian timbul akibat Jiwasraya tidak menerapkan kehati-hatian dalam berinvestasi.
Perseroan diduga telah menempatkan saham sebanyak 22,4 persen atau senilai Rp 5,7 triliun dari aset finansial. Dari jumlah tersebut hanya 5 persen yang ditempatkan pada saham perusahaan berkinerja baik (LQ 45) dan 95 persen sisanya ditempatkan di saham berkinerja buruk.
Kemudian, Jiwasraya juga menempatkan pada reksa dana saham 59,1 persen dengan nilai mencapai Rp 14,9 triliun. Sebanyak 98 persen dari total aset justru dikelola oleh manajer investasi yang buruk.