Daniel Tan, pemilik dari Melly Garment, produsen pakaian bayi, mengatakan dirinya sempat bernapas lega ketika pada 2015, impor produk tekstil sempat dibatasi. Tapi semakin ke sini, produk impor semakin meningkat. Dampaknya paling dirasakan oleh industri rumah tangga yang menjadi mitra Daniel. “Itu yang kasihan, mereka belum siap menerima pengurangan itu (produksi),” kata dia.
Tak sampai di situ, sektor hilir ini juga semakin terbebani dengan adanya kewajiban Standar Nasional Indonesia (SNI). Persoalannya, terdapat setidaknya 17 tahap yang harus diurus pelaku usaha untuk sekedar mendapatkan SNI ini dan harus diperbarui setiap enam bulan sekali. Akan tetapi, kebijakan yang sama tidak berlaku untuk produk impor. Ini gak masuk akal banget,” kata dia. Untuk itu, Daniel meminta aturan ini direlaksasi lantaran produk yang dia produksi hanya untuk kelompok menengah ke bawah.
Masalah ini sudah sampai ke telinga Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil, Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono. Kementerian rupanya telah melakukan pemantauan terhadap industri TPT nasional. Hasilnya, belum ditemukan adanya pabrik tekstil yang tutup.
Menurut Achmad, yang terjadi hanya penghentian sementara kegiatan produksi, yang umumnya pada industri pakaian jadi untuk kebutuhan ekspor. Kelompok industri ini, kata dia, memiliki ketergantungan pada permintaan luar negeri. Maka ketika permintaan berhenti, otomatis pabrik menghentikan produksi.
Selain itu, Achmad menegaskan tidak pernah terjadi lonjakan impor TPT seperti yang dikeluhkan industri. Dari catatan Kemenperin, total impor produk TPT sepanjang semester pertama 2019 mencapai US$ 4,07 miliar. Impor ini terdiri dari US$ 165,4 juta pada tekstil lainnya, US$ 399 juta pada pakaian jadi, US$ 2.709 juta pada kain, US$ 378 juta pada benang, dan US$ 966 juta pada serat. Angka ini turun dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 4,16 miliar, dan tahun 2018 yang mencapai US$ 8,68 miliar.
FAJAR PEBRIANTO