TEMPO.CO, Jakarta - Sengkarut masalah dalam Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) semakin buncah. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy mengatakan pelaku bisnis di sektor ini sudah semakin tertekan olehlonjakan impor tekstil. “Kalau diibaratkan, kami ini sudah ketiban,” kata dia, dalam diskusi di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, Rabu, 11 September 2019.
Akibat digempur tekstil impor, sembilan perusahaan tekstil diketahui telah gulung tikar selama tiga tahun terakhir, sejak 2017. Sehingga, rasionalisasi atau pemutusan hubungan kerja pun tak terhindarkan, mulai dari 75 hingga 500 karyawan di setiap perusahaan. Menurut Ernovian, mayoritas dari perusahaan ini berada di daerah Jawa Barat, Jakarta, dan sekitarnya.
Ernovian mengatakan persoalan yang terjadi sebenarnya lebih kompleks. Pertama tentunya lonjakan barang impor tekstil yang masuk ke Indonesia dengan harga murah. Sementara, harga produk lokal lebih tinggi lantaran kurangnya daya saing. Daya saing ini rendah lantaran ongkos produksi yang tinggi. “Untuk kain saja, ini sudah terjadi sejak 2010, tapi baru sekarang kedengeran,” kata dia. Untuk itu, API telah mengajukan permohonan penyelidikan safeguard kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Kementerian Perdagangan atas lonjakan impor ini.
Kedua, ada sejumlah regulasi yang justru memberatkan produsen. API mencatat, setidaknya ada 13 aturan, mulai dari Undang-Undang, Peraturan Presiden, hingga Peraturan Menteri yang justru memberatkan dan mengurangi daya saing produk lokal. Salah satunya yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Baku Mutu Air Limbah.