TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mendukung rencana pemerintah Indonesia yang bakal mengalihkan permintaan pesawat terbang dari Uni Eropa (Airbus) ke Amerika Serikat (Boeing).
Langkah pemerintah itu ditempuh sebagai balasan terhadap diskriminasi sawit oleh Uni Eropa, dengan mengenakan tarif bea masuk tambahan sebesar 18 persen terhadap biodiesel Indonesia. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sebelumnya juga mengalihkan impor minuman beralkohol, buah-buahan, dan produk susu dari Uni Eropa.
Ketua GIMNI Sahat Sinaga menilai tindakan pemerintah tersebut merupakan pesan yang positif bagi para pelaku minyak kelapa sawit nasional. Menurut dia, bea masuk yang ditetapkan Uni Eropa terhadap biodiesel tersebut mirip dengan pajak yang diberikan oleh para penjajah atau collonial tax. Dengan kata lain, katanya, Uni Eropa masih memandang Indonesia sebagai negara jajahan.
“Nah, itu yang kami tidak suka. Maka, kami dari GIMNI mendukung penuh program-program yang dilakukan pemerintah terhadap pola diskriminasi itu,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu 21 Agustus 2019.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biodisel M.P. Tumanggor mengusulkan agar pemerintah mencari komoditas lain dari Eropa yang dapat disubtitusi dari negara lain serta tidak melanggar aturan WTO sebagai bagian perlawanan. "Misalnya parfum atau wine dan susu yang kita butuh tetapi bisa dari Australia dan Selandia Baru," ujarnya.
Saat ini, Uni Eropa masih memberikan waktu bagi produsen biodiesel untuk melakukan pembelaan. Kendati demikian, Tumanggor mengatakan bahwa produsen sudah mulai menghentikan pengiriman ke Eropa.
Produsen biodiesel pun berharap mandatori B30 pada awal tahun depan dapat berjalan dengan baik karena diperkirakan mampu menyerap biodiesel sebanyak 3 juta kilo liter. "Jumlah itu lebih besar dari ekspor ke Uni Eropa yang sekitar 1,4 juta liter," kata Tumanggor.