TEMPO. CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menilai lonjakan nilai impor produk Cina sepanjang Juli 2019 masih terbilang bagus. Sebab, lonjakan impor ini lebih didominasi oleh barang modal, bukan konsumsi.
“Bagus sebenarnya, dalam artian, masuknya barang modal, bukan konsumsi, karena industrinya tumbuh,” kata Enggartiasto saat ditemui usai mengikuti Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2019.
Enggar mengatakan, data ekspor - impor tersebut berasal dari kementeriannya dan kemudian diserahkan kepada Badan Pusat Statistik atau BPS. Impor barang modal terjadi karena memang beberapa produk seperti mesin memang belum bisa diproduksi di dalam negeri.
Sebelumnya, BPS mencatat nilai impor Indonesia pada Juli 2019 mencapai US$ 15,51 miliar, atau naik 34,96 persen dibanding Juni 2019. Namun, Kepala BPS Suhariyanto menuturkan, jika dibandingkan Juli 2018 nilai impor itu turun 15,21 persen. "Kenaikan impor yang utama adalah untuk impor nonmigas," kata Suhariyanto di kantornya, Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2019.
Di antara peningkatan impor ini, BPS mencatat impor non-migas tertinggi pada Juli 2019 berasal dari Cina. Jumlah kenaikannya mencapai US$ 1,5 miliar atau setara Rp 21,1 triliun (kurs rupiah Rp 14.100 per dolar AS). Dari semula US$ 2,6 miliar pada Juni 2019, menjadi menjadi US$ 4,1 miliar pada Juli 2019.
Kondisi ini pun memperburuk defisit neraca perdagangan antara Indonesia dan Cina, yang meningkat menjadi US$ 11 miliar sepanjang tahun ini. Meningkatnya impor dari Cina ini ditenggarai merupakan imbas dari nilai mata uang Yuan yang terus melemah dalam beberapa pekan terakhir, yang membuat barang ekspor dari Cina lebih murah.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan kementeriannya memang telah duduk bersama membahas lonjakan impor dan defisit perdagangan ini. Tak hanya itu, isu dumping dari negara lain pun muncul di tengah defisit perdagangan ini.
FAJAR PEBRIANTO