Direktur Jenderal FSC International, Kim Carstensen menyatakan pihaknya yakin dis-asosasi bukan jalan keluar ideal. "(FSC tidak memutuskan hubungan dengan Korindo) dengan memastikan Korindo berkomitmen terhadap serangkaian persyaratan, untuk memperbaiki kondisi di masa lalu dan mengevaluasinya agar tak ada lagi kejadian berulang di masa mendatang," kata Kim.
Dengan keputusan ini Korindo diwajibkan melanjutkan penangguhan konversi hutan dan deforestasi. Mereka juga wajib mendapatkan sertifikasi FSC untuk seluruh kegiatan kehutanannya dan memenuhi prinsip FPIC dalam berhubungan dengan masyarakat adat. Korindo juga wajib mengantisipasi dampak negatif dari pembukaan perkebunan sawit di lahan hutan dan memastikan pemulihannya.
FSC akan memantau kemajuan Korindo dalam menjalankan keputusan FSC tersebut. Jika ke depan, perusahaan itu gagal memenuhi kewajibannya, hal tersebut akan jadi dasar FSC memutuskan hubungannya dengan Korindo.
Sementara itu, Direktur Kampanye Mighty Earth, Deborah Lapidus, mendesak FSC tak hanya mengumumkan putusan, tapi juga membuka secara lengkap hasil investigasi. Dia menilai pernyataan FSC tidak menyoroti seberapa parah pelanggaran yang dilakukan Korindo, termasuk dalam pembakaran hutan. “Penting bagi masyarakat dan pemangku kepentingan yang terkena dampak untuk membaca sendiri hasil temuan tersebut, sebelum Korindo mampu memutarbalikkan fakta,” kata Deborah.
Adapun Public Relations Manager Korindo Group, Yulian Mohammad Riza, memastikan perusahaannya akan melanjutkan moratorium yang diberlakukan sejak 21 Februari 2017. Pemberlakuan moratorium ini meliputi penundaan konversi area hutan hingga penilaian terhadap seluruh nilai konservasi tinggi (HCV) dan stok karbon tinggi (HCS) selesai dilakukan.
Korindo Group, kata Yulian, senantiasa memiliki iktikad baik untuk berkolaborasi dan bekerja sama secara konstruktif, tidak hanya bersama FSC. "Namun juga dengan semua pemangku kepentingan, dalam mengimplementasikan tindakan-tindakan yang tepat,” ujarnya.
VINDRY FLORENTIN | RR ARIYANI