TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi mengatakan langkah Aprindo menerapkan kantong plastik berbayar seharusnya lebih progresif. Yakni menggunakan kantong plastik ber-SNI.
Hal itu sesuai rekomendasi oleh BSN dan KLHK, yakni kantong plastik yang mudah terurai oleh lingkungan.
BACA: Kisah Superindo Memulai Kantong Plastik Berbayar sejak 2015
Tulus melihat masifnya penggunaan kantong plastik memang sudah sangat mengkhawatirkan. Menurut dia, sudah seharusnya pemerintah, pelaku usaha, produsen dan konsumen bersinergi untuk secara radikal mengurangi penggunaan kantong plastik.
"Seharusnya masalah ini menjadi kebijakan dan gerakan nasional yang radikal oleh pemerintah pusat, bukan terfragmentasi secara sporadis di masing-masing daerah," ujar Tulus, dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat, 1 Maret 2019.
Ini, kata Tulus, menunjukkan pemerintah, seperti KLHK, Kemendag, Kemenperin; belum ada keseriusan, alias masih memble, untuk menyelamatkan pencemaran oleh sampah plastik. Dan seharusnya, kata dia, bukan hanya menyasar retailer modern saja, tetapi pasar-pasar tradisional, misalnya dimulai dari PD Pasar Jaya.
BACA: Belanja Pakai Kantong Plastik Bayar Rp 200 Mulai Hari Ini
"Dan, terakhir, bukan hanya kantong plastik saja, tetapi pembungkus plastik untuk kemasan makanan, minuman, kosmetik; pun harus berbasis ramah lingkungan," ujar dia. Karena, menurut Tulus, sampah pembungkusnya itulah sumber pencemaran lingkungan yang sejati.
Tulus menilai plastik berbayar oleh Aprindo tersebut tidak akan efektif untuk mengurangi penggunaan kantong plastik oleh konsumen. Pasalnya, kata dia, nominal Rp 200 per kantong tidak akan mengganggu daya beli konsumen.
"Sekalipun konsumen dengan 5-10 kantong plastik saat belanja, konsumen hanya akan mengeluarkan Rp 1.000 - Rp 2.000. Sebuah angka nominal yang tidak signifikan," ujarnya.
Seharusnya, kata Tulus, yang dilakukan Aprindo terkait kantong plastik lebih progresif lagi, yakni menggunakan kantong plastik ber-SNI.