TEMPO.CO, Jakarta - Eks Wakil Menteri Perdagangan di era SBY, Bayu Krisnamurthi, memperkirakan impor pangan bakal jadi isu panas dalam debat calon presiden putaran kedua yang akan digelar Ahad mendatang.
Baca: Ombudsman Ingatkan Jokowi Atas Impor Pangan 4 Komoditas
Namun Bayu memperkirakan apabila janji yang dilontarkan calon presiden untuk tidak melakukan mengimpor bakal sulit ditepati. "Saya malah khawatir kalau ada yang terlalu bersemangat menjanjikan anti impor itu malah tidak realistis," ujar Bayu di Menara Kadin, Jakarta, Kamis, 14 Februari 2019.
Saat ini, kata Bayu, Indonesia lagi berada di zaman impor-phobia, alias takut terhadap impor. Pasalnya, impor merupakan keputusan yang tidak bisa dihindari karena di saat yang sama suatu negara juga mengharapkan untuk bisa melakukan ekspor.
Dengan demikian ada hubungan timbal balik lantaran ketika Indonesia melakukan ekspor pasti ada negara lain yang melakukan impor. Karena itu lah, menurut Bayu, suatu negara tidak boleh anti impor.
Namun, menurut Bayu, bukan berarti kebijakan impor itu tidak memiliki dampak negatif. Ia mengatakan dalam kebijakan impor pangan yang terlalu banyak, kesejahteraan petani pasti bakal terkena imbasnya. "Sekarang bagaimana caranya kita tetap mengimpor, kalau memang perlu, tapi tidak membuat kesejahteraan petani terganggu."
Hingga saat ini, kata Bayu, impor pangan masih cukup besar. Terlebih apabila melihat impor untuk sejumlah komoditas pangan inti, seperti gandum, kedelai dan beras. "Saya ada angkanya, cukup besar, BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan impor pangan 20 juta ton," ujar Bayu.
Situasi tersebut, menurut Bayu, mesti menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya selama ini konteks ketahanan pangan masih lebih mementingkan soal keterjangkauan dan ketersediaan pangan saja. Padahal selain soal itu, Bayu mengatakan pemerintah perlu memperhatikan soal masalah gizi dari konsumsi pangan masyarakat.
Sebelumnya, Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih telah menyampaikan temuan dari lembaganya mengenai perbandingan total impor pangan di empat komoditas ini antara zaman Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
Ada empat komoditas yang dipantau oleh Ombudsman karena berkaitan dengan pelayanan publik dalam hal komoditas pangan, yaitu beras, gula, jagung, dan garam. Pertama yaitu beras. Pada lima periode kedua dari SBY, total impor beras yaitu 6,6 juta ton, sementara dalam empat tahun, Jokowi sudah mengimpor 4,7 juta ton. "Jadi tergantung tahun ini, apakah masih ada impor."
Kedua yaitu gula. SBY mengimpor 12,7 juta ton gula pada lima tahun periode kedua dan Jokowi sudah mengimpor gula sebanyak 17,2 juta ton. Pada tahun ini pun, Ombudsman memperkirakan masih akan ada impor gula pada jenis tertentu yang belum bisa dipenuhi oleh gula lokal. "Jadi Pak Jokowi lebih banyak 4,5 juta ton, nanti kami akan lihat kenapa demikian."
Ketiga yaitu Jagung. Menurut Alamsyah, impor jagung memang tidak melonjak drastis karena sejak 2015, pemerintah menerapkan kebijakan substitusi industri pakan dari jagung ke gandum. Tapi secara total, Jokowi telah mengimpor 12,5 juta ton jagung dan gandum untuk kebutuhan pakan hingga 2018. Sedangkan, SBY mengimpor sebanyak 12,9 juta ton. Walau begitu, Ombudsman memperkirakan impor jagung tahun 2019 akan melampaui capaian selama masa pemerintahan kedua SBY.
Keempat yaitu garam. SBY mengimpor sebanyak 11,3 juta ton garam sedangkan Jokowi sebanyak 10 juta ton. Sementara untuk memenuhi kebutuhan industri, pada tahun 2019, diperkirakan akan ada impor di atas 2 juta ton lagi. Maka dari keempat komoditas itu, kata Alamsyah, masa pemerintahan Jokowi jumlah impor lebih banyak dibandingkan dengan masa pemerintahan SBY.
Staf Khusus Presiden, Ahmad Erani Yustika memberikan jawaban atas laporan Ombudsman RI yang menyebut impor pangan di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang lebih besar ketimbang era Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Erani, data mengenai volume dan pertumbuhan impor pangan perlu dibaca secara cermat agar didapati deskripsi yang lebih utuh.
Baca: Ombudsman Bandingkan Impor Pangan Era SBY dan Jokowi, Hasilnya?
“Secara keseluruhan, kemampuan pemerintah dalam menyediakan pangan dari produksi domestik makin meningkat,” kata Erani ketika ditanya soal impor pangan di Jakarta, Kamis, 30 Januari 2019. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan pangan itu dilakukan meski permintaan terus naik karena pertambahan jumlah penduduk dan daya beli.
LARISSA HUDA | FAJAR PEBRIANTO