Selain itu Prabowo dan Sandiaga menyebutkan tiga strategi lainnya seperti mendorong instrumen pajak untuk mengurangi kesenjangan sosial, menurunkan tarif pajak, dan terakhir melakukan ekstensifikasi pajak lewat digitalisasi, otomatisasi, implementasi infrastruktur teknologi perpajakan.
Sejumlah pengamat sebelumnya telah menanggapi wacana kenaikan tax ratio itu. Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo, misalnya, menyayangkan bila kenaikan tax ratio dijadikan sebagai solusi jangka pendek untuk mengatasi akar permasalahan korupsi, yakni gaji PNS dan aparat penegak hukum yang dianggap masih rendah.
"Logika sederhana, pemerintah ingin menarik pajak lebih besar dari rakyat, untuk membiayai para aparatur negara yang tugasnya melayani kepentingan rakyat," ujar Prastowo, Jumat, 18 Januari 2019.
Prastowo menilai tax ratio bukanlah satu-satunya alat ukur bagi kinerja institusi pemungut pajak lantaran ada beberapa faktor dan kondisi yang perlu diperiksa dan dibandingkan. Misalnya, besaran insentif pajak, besarnya sektor informal (underground economy), insentif untuk menghindari pajak, kehandalan sistem, tingkat kepatuhan pajak, dan lain-lain.
Hal senada disampaikan oleh ekonom Insititute for Development Economics and Finance Bhima Yudhistira. Ia tak sepakat jika hasil usaha untuk meningkatkan tax ratio digunakan untuk membiayai gaji pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara. Dia mengatakan jika dana hasil peningkatan tax ratio lebih baik digunakan untuk belanja modal.
"Sebaiknya dananya digunakan untuk pos belanja modal khususnya untuk infrastruktur jangan dihabiskan untuk belanja birokrasi," kata Bhima kepada Tempo, Ahad 20 Januari 2019.
Baca: Prabowo Bandingkan Rasio Pajak di Era Soeharto dan Jokowi
Pasalnya, kata Bhima, selama ini, dalam pemerintahan Presiden Jokowi alokasi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk belanja pegawai sudah cukup besar. Misalnya, porsi belanja pegawai pada APBN 2019 mencapai 23,3 persen dari total belanja pemerintah.