TEMPO.CO, Jakarta - Perbankan bersaing menghimpun dana murah (current account saving account/CASA) di tengah tren kenaikan suku bunga deposito yang masih berlangsung. Dana murah seperti tabungan dan giro menjadi buruan perbankan untuk mendorong efisiensi dan menekan biaya dana (cost of fund). Direktur Consumer Banking PT Bank CIMB Niaga Tbk Lani Darmawan berujar komposisi dana murah dalam total dana pihak ketiga (DPK) secara keseluruhan berupaya terus ditingkatkan.
Simak: LPS Naikkan Suku Bunga Pinjaman Jadi 7 Persen
“Rasio CASA kami tahun ini kami jaga di atas 55 persen lewat sejumlah program dan fokus seperti payroll, cash management, merchant, dan operating account,” ujar Lani, kepada Tempo, Kamis 10 Januari 2019. Adapun hingga November 2018, komposisi CASA CIMB Niaga sebesar 56,36 persen atau senilai Rp 96,31 triliun dari total dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 170,88 triliun.
Lani melanjutkan upaya untuk mendorong pertumbuhan CASA utamanya melalui ekspansitransaksi melalui digitalbanking. “Kami terus memberikan akses yang mudah dan murah lewat digitalchannel seperti GoMobile, clicks, dan internetbanking.”
Langkah serupa juga ditempuh oleh PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Direktur Strategic, Risk, and Compliance BTN Mahelan Prabantarikso menuturkan perseroan memiliki strategi yang berbeda untuk menjaring dana murah di masing-masing segmen, mulai dari segmen umum (mass), nasabah baru (emerging affluent), dan nasabah berkecukupan (affluent).
Baca Juga:
“Untuk segmen mass kami akan meningkatkan volume of account dengan pola berburu di kendang sendiri, saat ini number of account atau jumlah rekening yang dimiliki BTN lebih dari 9 juta,” katanya. Upaya itu juga ditopang oleh pengembangan fitur transaksi digital.
Berdasarkan data Bank Indonesia tentang Uang Beredar pada November 2018, total komposisi dana murah perbankan mencapai 56,02 persen dari keseluruhan DPK perbankan sebesar Rp 5.405,4 triliun. Peningkatan CASA itu didorong oleh menurunnya komponen simpanan berjangka dalam komposisi DPK, yaitu menjadi Rp 2.376,9 triliun dari bulan sebelumnya sebesar Rp 2.392 triliun.
Sementara itu, Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti berujar secara keseluruhan likuiditas perbankan ke depan pun masih akan ketat. Hal itu disebabkan oleh kondisi pertumbuhan kredit yang tinggi hingga November 2018 tercatat mencapai 12,05 persen sedangkan pertumbuhan DPK hanya sebesar 7,19 persen. “Ada gap yang dibutuhkan untuk membiayai pertumbuhan kredit yang ekspansif, khususnya yang mengkhawatirkan di kategori bank BUKU III,” ucap Destry.
Destry melanjutkan suku bunga deposito perbankan tahun ini pun diperkirakan masih akan mengalami penyesuaian. Berdasarkan catatan LPS, sepanjang tahun lalu kenaikan bunga simpanan dalam rupiah perbankan mencapai 88 basis points (bps), atau belum sepenuhnya merespon kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia 7 Days Reverse Repo Rate yang mencapai 175 basis points (bps) di 2018.
Untuk mengikuti tren kenaikan suku bunga perbankan, LPS pun kemarin mengumumkan kenaikan tingkat bunga penjaminan untuk simpanan dalam rupiah dan valuta asing (valas) di bank umum, serta simpanan rupiah di bank perkreditan rakyat (BPR) masing-masing 25 bps. Dengan demikian tingkat bunga penjaminan untuk simpanan rupiah dan valas di bank umum sebesar 7 persen dan 2,25 persen, sedangkan simpanan rupiah di BPR sebesar 9,50%.
“Bank harus mencari sumber pendanaan yan lain, termasuk mengembangkan dana murah seperti meningkatkan transaction banking dan tabungan, sebaliknya repot kalau bank DPK nya banyak mengandalkan dari deposito karena dia kan dana mahal,” kata Destry.