TEMPO.CO, Jakarta - Dari laporan masyarakat soal lembaga financial technology atau fintech yang masuk ke Lembaga Bantuan Hukum Jakarta diketahui rata-rata sebanyak 48,48 persen pengadu yang menggunakan satu hingga lima aplikasi pinjaman online. "Bahkan, ada borrower yang meminjam hingga kepada 36 sampai 40 aplikasi," ujar pengacara LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait, Ahad, 9 Desember 2018.
Baca: LBH: 25 Aplikasi Pinjaman Online Resmi Diduga Melanggar Aturan
Jeanny menjelaskan, tak sedikit nasabah terjerat bunga yang sangat tinggi ketika meminjam di aplikasi pinjaman online. Untuk membayar bunganya, akhirnya peminjam mengajukan ke platform lain.
Namun akhirnya pinjaman pokok di aplikasi pertama tidak bisa terbayarkan. “Kalaupun pinjam di aplikasi kedua, tidak cukup untuk membayar pinjamannya. Akhirnya seseorang terjerat lingkaran setan,” ucap Jeanny.
Lebih jauh Jeanny menjelaskan, rata-rata pengguna atau sekitar 51,24 persen dari total aduan ke LBH Jakarta, tercatat mengajukan pinjaman yang sangat kecil yakni Rp 1 juta sampai Rp 2 juta. Adapun sebanyak 33,33 persen meminjam sekitar Rp 0 sampai Rp 1 juta. "Bayangkan harga yang harus mereka bayar," ujarnya.
LBH Jakarta mendapati 1.330 aduan fintech bermasalah yang dihimpun dari hampir seluruh daerah di Indonesia. Sebagian besar aduan atau sebanyak 36,07 persen berasal dari DKI Jakarta, disusul oleh 27 24 persen dari Jawa Barat, dan 9,8 persen dari Banten.
Selain itu aduan juga datang dari Kalimantan Timur sebanyak 1,35 persen, 7,10 persen dari Jawa Tengah, 8,3 persen dari Jawa Timur dan 1,28 persen dari Bali, dan Sulawesi Utara sebanyak 1,58 persen. Adapun sebanyak 7,47% berasal dari daerah lainnya seperti Sumatera Utara, Sumatra Barat, Kepulauan Riau, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan lainnya.
Sebanyak 14 pelanggaran diketahui dilakukan oleh pinjaman online atau peer to peer lending tersebut. Beberapa pelanggaran di antaranya ialah bunga yang tinggi dan tanpa batasan dan penagihan dilakukan bukan hanya ke peminjam, namun ke kontak milik peminjam.
Penyebaran data pribadi juga dilakukan, yang mengakibatkan peminjam mengalami ancaman, fitnah, penipuan, dan pelecehan seksual. Penyebaran foto dan informasi pinjaman disebar oleh penagih ke seluruh kontak milik peminjam. Selain itu, kontak dan lokasi kantor penyelenggara pinjaman online tidak jelas.
Bentuk pelanggaran lainnya adalah peminjam yang sudah membayarkan pinjamannya, transaksinya dihapus dan dilaporkan belum membayar utang. Lalu, penagihan yang dilakukan oleh orang yang berbeda dan dilakukan berkali-kali dalam satu hari.
Baca: OJK Beri Sanksi Pinjaman Online Nakal yang Melanggar
Ada juga bentuk pelanggaran data KTP peminjam yang digunakan untuk pengajuan pinjaman online lain. Aplikasi pinjaman online ada yang tiba-tiba hilang pada saat jatuh tempo pinjaman. LBH Jakarta mencatat sebanyak 72 persen aduan disampaikan oleh perempuan dan sisanya, 28 persen oleh laki-laki.
BISNIS