TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Direktur Institute Development of Economics and Financial atau Indef Eko Listiyanto mengatakan tingkat inflasi yang dijaga rendah di bawah angka 3,5 persen bukan karena keberhasilan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Eko mengatakan, inflasi yang rendah tersebut terjadi karena daya beli yang juga rendah.
Baca: Jokowi: Percuma Ekonomi Tumbuh tapi Inflasi Tinggi, Rakyat Tekor
Kebijakan pengendalian harga oleh pemerintah untuk menjaga inflasi yang rendah baru bisa dikatakan berhasil jika beriringan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat. "Masalahnya, inflasi yang rendah saat ini tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang akseleratif," kata Eko di Jakarta, Kamis, 15 November 2018.
Merujuk data Badan Pusat Statistik atau BPS, inflasi pada Oktober 2018 mencapai 0,28 persen. Sedangkan inflasi tahun kalender atau year on year mencapai angka 3,16 persen sedangkan inflasi dari Januari-Oktober 2018 mencapai 2,22 persen.
Angka ini masih berada di bawah hitungan pemerintah yang menginginkan angka inflasi bisa dijaga di angka 3,5 persen. Adapun, pemerintah sejak tahun 2014 telah mencatatkan prestasi lewat angka inflasi yang dijaga rendah di bawah angka 3,5 persen.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi tercatat tak pernah melampaui angka 5,3 persen secara year on year sejak 2015. Terakhir pertumbuhan ekonomi berada pada angka 5,17 persen secara year on year dalam rilis data BPS pada awal November 2018.
Eko mengatakan kondisi tersebut juga dikuatkan dengan data tren dunia seperti di beberapa negara Asean dan juga China. Merujuk data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia misalnya, menunjukkan bahwa inflasi di Thailand 1,5 persen, Malaysia mencapai 0,5 persen, Vietnam 3,88 persen China mencapai 2,30 persen di kuartal ke III.
Namun, dari masing-masing negara tersebut juga memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Seperti Thailand di angka 4,6 persen, Malaysia 4,5 persen dan Vietnam dengan angka 6,88 persen hingga semester pertama.
Selain itu, Eko menerangkan, salah satu hal yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang stagnan ini karena inflasi paling signifikan terjadi pada sektor volatile food atau barang bergejolak. Hal ini terlihat salah satunya, dari proporsi pengeluaran masyarakat miskin yang memakai penghasilannya sebesar 70-75 persen hanya untuk membeli bahan pangan.
Padahal, salah satu mesin pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah konsumsi rumah tangga. Dengan demikian, daya beli yang terus terkoreksi tersebut akan terus menggerogoti pertumbuhan ekonomi.
Baca: Di Depan Jokowi, Gubernur BI Paparkan 4 Strategi Jaga Inflasi
"Karena itu pemerintah perlu mengamankan harga pangan agar daya beli tidak stagnan. Sekaligus mendorong sektor non pangan untuk ikut tumbuh," kata dia.
Simak berita menarik lainnya terkait inflasi hanya di Tempo.co.