TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengatakan tantangan pengembangan gas di Indonesia adalah ketidakpastian permintaan dan infrastruktur.
Baca juga: Arcandra Jawab Kritik Penyerapan Minyak Lokal oleh Pertamina
"Kita tidak bisa pastikan demand dalam 7 tahun, siapa yang bisa pastikan demand dalam 20 tahun? Persoalan di kementerian, kita komitmen untuk deliver 100 mmscfd 2018, yang terjadi offtaker tidak ada," ujar Arcandra di Hotel Pullman Thamrin, Selasa, 25 September 2018.
Ketidakpastian permintaan, ujar Arcandra, juga didukung cara para pelaku gas Indonesia menuliskan kontrak. Menurut dia, kata yang kerap ada dalam kontrak adalah 'dapat', yang bisa diartikan sebagai bisa atau tidak bisa.
"Kata dapat itu jalan keluar untuk membuat kontrak bisa jalan atau tidak, tergantung kita melihatnya. Benar kan?" kata Arcandra. "Terus bagaimana kita bangun infrastruktur kalau kontraknya ada loophole-nya, entah sengaja atau tidak."
Selanjutnya, ketidakpastian itu pun terjadi pada infrastruktur. Arcandra mengatakan salah satu kendala pengembangan gas adalah ketidakpastian infrastruktur untuk mengembangkan pasar di area tertentu.
"Susah PGN membangun pipa kalau importing gas karena enggak ada infrastrukturnya, kecuali mau bangun FRSU (Floating Storage and Regasification Unit) sendiri," ujar Arcandra. Sementara, dalam rencana pembangunan proyek, misalnya saja FRSU juga ada hal yang tidak pasti.
Ia lantas menceritakan pengalaman pertamanya di kementerian ESDM. Menurut dia, saat itu ada rencana untuk membuat FSRU alias terminal apung pada 2019-2020.
"Kalau begitu kan harusnya sejak 2016 sudah ada FEED (Front End Engineering Design)-nya, dalam oil and gas mustahil pakai cara Sangkuriang," kata Arcandra. Dalam industri migas, ujar dia, selayaknya semua pihak membuat rencana ganda dengan permintaan yang pasti.
Arcandra Tahar menegaskan pentingnya infrastruktur dalam pengembangan gas. Sebab, gas berbeda dengan minyak yang lebih mudah mobilisasinya, baik untuk didistribusikan maupun untuk ekspor impor. Sementara, untuk gas, perlu ada infrastruktur pendukung terlebih dahulu sebelum pengembangan.