TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira Adhinegara mengakui kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada era Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dapat menekan defisit migas saat itu. "Konsumsi bbm lebih terkendali dan impor migas agak dimanage," ujar dia kepada Tempo, Selasa, 18 September 2018.
Baca: SBY Klaim Sukses Bangun Ekonomi Indonesia di Dua Periode
Namun, kebijakan SBY tersebut berimbas terhadap inflasi. Bhima menjelaskan di era SBY pada tahun 2010 inflasi 6,9 persen, tahun 2013 8,38 persen, dan 2017 8,36 persen. Menurut Bhima inflasi di era SBY sangat tinggi.
Hal tersebut berdampak pada daya beli masyarakat yang jadi anjlok. Saat itu, kata Bhima Inflasi administered price atau harga yg diatur pemerintah sempat tembus 17 persen. Namun, inflasi tersebut dapat diredam di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Di era SBY, kata Bhima, Indonesia mengalami commodity boom, yaitu harga minyak mentah mencapai puncaknya tahun 2011 di angka US$ 110 per barel, yang kemudian anjlok menjadi US$ 50 per barel pada 2015. "Jadi ekonomi Indonesia tergantung harga komoditas global," ucap dia.
Kemudian Bhima menjelaskan, di era SBY juga mengalami deindustrialisasi secara besar-besaran. Di mana porsi industri manufaktur di atas 27 persen terhadap PDB tahun 2009 kemudian merosot terus hingga 21 persen pada akhir masa SBY menjabat.
Bhima berujar, setiap presiden memiliki kelemahan masing-masing, terutama di bidang industri. "Era Jokowi pun hampir sama, infrastruktur jadi perhatian tapi industri manufakturnya loyo bahkan tumbuh hanya 3,9 persen pada kuartal II 2018," tutur dia.
Baca: SBY: Infrastruktur Penting, Tapi Rakyat Susah Harus Diperhatikan
Sebelumnya, dalam pidatonya di perayaan hari jadi Partai Demokrat yang ke-17, SBY mengatakan menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi dengan salah satu kebijakannya menaikkan harga BBM.