TEMPO.CO, Jakarta - Dalam menghadapi fluktuasi kurs rupiah, Kepala Penelitian Makroekonomi dan Finansial, Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Febrio N. Kacaribu, menilai devisa hasil ekspor (DHE) menjadi kunci jangka pendek. Hal itu juga dinilai efektif untuk mengantisipasi arus capital outflow yang cukup tinggi.
Baca: Kemenag Respons Tudingan Anwar Nasution soal Haji Lemahkan Rupiah
Di sisi lain, Febrio menyarankan agar pemerintah memberikan insentif yang lebih menarik bagi eksportir yang menukarkan DHE-nya ke dalam mata uang rupiah. Saat ini, menurut dia, eksportir belum terlalu antusias dan hal tersebut terlihat dari konversi devisa ke mata uang rupiah masih di kisaran 15 persen dari total. "Harusnya bentuknya cukup menarik," ucapnya, Senin, 10 September 2018.
Febrio mencontohkan, pada tahun 2015, pemerintah sebenarnya telah merayu para eksportir untuk membawa balik devisanya dengan menurunkan pajak devisa hasil ekspor yang semula 20 persen. Bagi eksportir yang menyimpan DHE selama 1 bulan di bank nasional, tarif pajaknya akan diturunkan sebanyak 10 persen.
Sedangkan jika eksportir menyimpan DHE selama tiga bulan dikenakan tarif 7,5 bulan, disimpan enam bulan sebanyak 2,5 bulan. Bahkan, apabila disimpan enam bulan ke atas tarifnya bisa 0 persen.
Insentif itu, kata Febrio, bakal diperbesar lagi jika devisa dalam bentuk dolar itu dikonversikan ke rupiah, besaran tarif yang akan diterima eksportir bisa 7,5 persen untuk simpanan satu bulan dan bebas pajak atau 0 persen untuk enam bulan ke atas. Tetapi, lagi-lagi itu pun tak mempan atau kurang optimal.
Faktanya, insentif tersebut masih belum menarik bagi para eksportir. Pada kuartal kedua tahun 2018, Bank Indonesia mencatat DHE yang masuk ke dalam negeri sebesar US$ 34,75 miliar. Sementara nilai transaksi ekspor mencapai US$ 43,7 miliar.
Sebelumnya Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan jumlah tersebut menurun jika dibandingkan dengan pada kuartal I tahun 2018 sebesar US$ 35,12 miliar. Dengan demikian, DHE yang masuk hingga semester I tahun 2018 mencapai US$ 69,87 miliar.