TEMPO.CO, Jakarta -Inspektur Jenderal Kementerian PUPR Widiarto mengatakan hingga hari ini tidak ada instruksi khusus kepada Kementerian PUPR untuk menunda proyek infrastruktur. Hal itu karena kandungan lokal di hampir semua proyek infrastruktur mencapai 99 persen. “Tidak ada instruksi untuk menunda, infrastruktur jalan terus, tidak ada yang direm,” kata Widiarto, di Jakarta 10 Agustus 2018.
BACA: Gempa Lombok, PUPR Akan Bangun Kembali 3.500 Rumah yang Rusak
Widiarto menjelaskan, di antara kandungan lokal dalam komponen infrastruktur, baja merupakan salah satu yang masih diimpor. Namun itu pun sedikit sekali karena hanya untuk profil baja khusus.
“Pada 2018, komponen utama pembangunan infrastruktur totally dari kita, khususnya semen, termasuk beton pracetak dari kita semua. Jadi kami tidak ada pengaruh dari impor barang, sehingga tidak ada instruksi penundaan,” katanya.
BACA: PUPR: Seluruh Komponen Pembangunan Tol Berasal dari Dalam Negeri
Widiarto mengatakan, terkait TKDN di Perpres 16/2016 tentang Pengadaan Barang Jasa, ada amanat untuk memberi reward bagi peserta tender dengan kandungan lokal dengan nilai tertentu. “Sehingga itu diperhitungkan dalam penawarannya supaya tidak ada ketergantungan impor, sedangkan minimal TKDN itu 25 persen,” ujarnya.
Menurut Widiarto, Kementerian PUPR merupakan salah satu kementerian dengan anggaran yang paling besar, dalam lima tahun pemerintahan Presiden Jokowi, infrastruktur menjadi tumpuan pembangunan, baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi maupun penciptaan lapangan kerja.
Untuk 2018, PUPR memperoleh anggaran sebesar Rp 107 triliun, dan pada 2019, akan naik menjadi Rp110 triliun. Dengan total anggaran tersebut, Widiarto mengakui, pihaknya memang akan melakukan efisiensi, khususnya terkait dengan belanja anggaran.
Ada tiga jenis belanja anggaran di Kementerian PUPR, yaitu belanja barang operasional, belanja non operasional, dan belanja yang berkarakter modal. Dalam rangka efiesiensi belanja anggaran, PUPR menghemat belanja barang dan melakukan shifting ke belanja modal atau ke belanja yang lebih produktif.
“Untuk 2019 berusaha untuk shifting belanja barang non operasional, ke belanja yang lebih produktif, jumlahnya sebanyak Rp 4 triliun yang akan di-refocusing ke belanja modal dan berkarakter modal, dan ini yang memang akan diperbesar” kata Widiarto. Contoh belanja berkarakter modal, infrastuktur yang diserahkan ke masyarakat, seperti rumah swadaya.
Sedangkan belanja yang akan cenderung dikurangi yaitu belanja barang non operasional, yakni berupa studi, kajian, workshop. “Untuk belanja jenis ini, pengurangan setahun sekitar 15 persen,” ia menambahkan.
Widiarto mengatakan, total persentase belanja modal PUPR pada 2018 mencapai angka 81 persen, sedangkan pada 2019 meningkat hingga 83 persen.
MAWARDAH I MARTHA WARTA S