TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan Indonesia akan membuka keran impor bagi produk Amerika Serikat untuk menjawab ancaman sanksi Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Amerika Serikat sebelumnya meminta WTO menjatuhkan sanksi Rp 5 triliun kepada Indonesia.
Baca: Amerika Serikat Minta Izin WTO Jatuhkan Sanksi ke Indonesia
Menurut Enggartiasto, pembukaan keran impor untuk menunjukkan komitmen Indonesia mengubah sejumlah peraturan yang membatasi masuknya barang dari AS dan Selandia Baru di sidang WTO. “Tidak ada pilihan, sebab kita adalah anggota WTO," ujarnya di Bandung, Rabu, 8 Agustus 2018.
Baca: Ancaman Sanksi dari WTO, Ekonom: Harusnya Impor Dikurangi
Keran impor yang akan dibuka lebar antara lain kedelai, kapas, dan menyusul daging sapi. Menurut Enggartiasto, tiga barang impor itu dibutuhkan di dalam negeri.
Amerika Serikat saat ini memasok 98,3 persen kebutuhan kedelai dalam negeri. Perajin tempe dan tahu akan protes jika kedelai didatangkan dari luar Amerika.
Begitu pula daging sapi. “Daging juga dibuka, kenapa harus dibatasi oleh Australia,” kata Enggartiasto. Sedangkan kapas, menurut dia, bila keran impor kapas dibuka lebar, akan meningkatkan ekspor garmen dan tekstil.
Dia juga menampik bahwa dibukanya keran impor akan berpengaruh terhadap neraca perdagangan. Enggartiasto yakin neraca perdagangan Indonesia-Amerika Serikat tetap surplus.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan tidak keberatan impor kapas dari Amerika meningkat dengan kompensasi ekspor garmen dan tekstil Indonesia meningkat. “Ini akan menghasilkan win-win solution dua negara. Intinya bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyat,” katanya di Bandung, Rabu.
Ade mengatakan impor kapas dari Amerika memasok 40 persen kebutuhan dalam negeri. “Impor lebih besar itu 45 persen dari Brasil, sisanya dari Australia dan berbagai negara,” ucapnya.
Amerika Serikat resmi meminta Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) menjatuhkan sanksi sebesar US$ 350 juta atau sekitar Rp 5 triliun terhadap Indonesia. Permintaan Amerika ini merupakan buntut dari kekalahan Indonesia pada sidang banding WTO pada November 2017.