TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan bakal mengkaji efektivitas seluruh pungutan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah. Tujuannya supaya tak ada kementerian dan lembaga yang seenaknya memungut setoran tanpa mempertimbangkan asas keadilan.
"Kadang kementerian dan lembaga itu terlalu bernafsu untuk membuat tarif sebanyak-banyaknya. Deteksi kita ada 70 ribu tarif yang saat ini berlaku, " ujar Direktur Jenderal Anggaran Askolani di kantornya, Jumat 27 Juli 2018.
Selama ini, Askolani mengemukakan kementerian dan lembaga juga masih sembarangan memungut setoran tanpa dasar hukum. Naasnya, pungutan itu dilaksanakan tanpa pengawasan memadai. Akhirnya kebijakan pemerintah justru menyusahkan masyarakat. Badan Pemeriksa Keuangan, Askolani berujar, juga menganggap temuan jenis ini bermasalah.
"Pas pelaksanaannya, pungutan itu malah menjadi temuan BPK," katanya.
Menurut dia, verifikasi dilakukan supaya pungutan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah bisa lebih sederhana. Askolani menuturkan bisa saja Kementerian Keuangan akan menghapus atau mengurangi tarif tersebut.
Verifikasi pungutan, kata dia, adalah kewenangan yang diperoleh Kementerian Keuangan berdasarkan undang-undang penerimaan negara bukan pajak yang baru. Beleid itu menggantikan Undang Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Naskah regulasi baru disahkan DPR pada Kamis lalu.
Skema verifikasi nantinya akan termuat dalam rancangan peraturan pemerintah yang menjadi turunan UU PNBP baru. Askolani menargetkan seluruh aturan teknis bisa rampung tahun depan.
"Nantinya pungutan baru juga harus diberlakukan lebih hati-hati," tutur dia.
Dalam regulasi ini, pemerintah juga bisa memberi keringanan setoran bagi masyarakat tak mampu hingga sebesar nol persen. Perlakuan serupa dapat diterapkan bagi usaha kecil menengah, mahasiswa berprestasi, serta usaha mikro, kecil, dan menengah.
Pengurangan setoran juga bisa berlaku bagi perusahaan yang tengah mengalami kesulitan likuiditas, terganggu akibat keadaan kahar, ataupun karena kebijakan pemerintah. Fasilitas lainnya yang diberikan pemerintah adalah penundaan dan pengangsuran setoran.
Sri Mulyani mengatakan Undang Undang PNBP baru dibutuhkan karena pelaksanaan pungutan tak hanya dilandasi faktor peningkatan penerimaan negara, melainkan juga faktor sosial dan politik. Pemerintah, kata dia, juga harus memperhitungkan persoalan lainnya seperti dampak kelestarian lingkungan hingga kebudayaan. "Adanya pungutan juga mewajibkan pemerintah untuk memastikan peningkatan pelayanan publik," tutur Sri.
Dia optimistis aturan ini bisa menjadi dasar perbaikan tata kelola PNBP. "Kami akan terus berkoordinasi untuk meningkatkan pengawasan dan mereformasi tata kelola penerimaan," tuturnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto memaparkan beleid juga meningkatkan pidana bagi perusahaan yang tak membayar setoran ataupun melaporkan PNBP terutang yang tak benar. Ancamannya adalah denda empat kali lipat dari jumlah setoran terutang dan penjara selama 2-4 tahun. Dalam ketentuan sebelumnya, tak ada masa minimal bagi pidana penjara.
Anggota Komisi XI DPR Mukhammad Misbakhun meminta
Kemenkeu menyempurnakan tata kelola dan sistem evaluasi supaya negara memiliki strategi dalam pengelolaan sumber daya alam. "Jika ada kenaikan harga maka negara bisa mengekslploitasi. Sebaliknya jika harga turun, negara dapat memiliki strategi bagaimana sumber daya alam disimpan untuk generasi mendatang," tutur dia.
ROBBY IRFANY | ANTARA