TEMPO.CO, TOKYO - Sejumlah bursa saham di Asia terus mengalami tekanan akibat dari perang dagang Amerika Serikat dengan Cina. Saham-saham di Asia merosot ke posisi terendah dalam sembilan bulan terakhir pada Kamis, 28 Juni 2018. Mengutip Reuters, pelemahan itu didorong oleh kekhawatiran investor akan pendekatan yang dilakukan Presiden Amerika Donald Trump yang berpotensi merugikan pertumbuhan ekonomi global.
Analis JP Morgan Asset Management di Tokyo, Yoshinori Shigemi mengatakan pergerakan pasar modal di Cina menuju pelemahan (bearish). Salah satu pemicunya ialah rencana Departemen Keuangan Amerika yang akan membatasi gerak perusahaan yang 25 persen kepemilikannya berasal dari China. "Meski belum terlihat apakah disebabkan sentimen jangka pendek, tidak banyak investor yang berminat membeli saham hari ini," kata Shigemi.
Sebelumnya, Presiden Trump menyatakan pemerintah akan memerangi praktik investasi oleh perusahaan asing. Ia akan menutup peluang investasi bagi investor asal Cina di sektor teknologi. Hal itu mencegah agar teknologi strategis Amerika tidak diadopsi negara lain.
Simak: Perang Dagang, Neraca Perdagangan Indonesia Terancam Defisit
Analis Rakuten Securities Mutsumi Kagawa menilai perang dagang Amerika-Cina semula dianggap sebagai taktik negosiasi semata. Namun, ia mengatakan, investor kini merasa khawatir dampak dari negosiasi yang tak berujung itu akan mengganggu pertumbuhan ekonomi global. "Ketakutan sekarang adalah bahwa 'America First' dapat menjadi 'America Worst', ” ucapnya.
Lebih lanjut, situs Bloomberg mencatat pelemahan bursa terjadi di sejumlah negara di kawasan Asia terhitung sejak awal Januari. Ada enam negara yang mengalami pelemahan paling dalam, yaitu rata-rata sebesar 20 persen, dan diperkirakan mengalami kerugian (aksi jual) di pasar sebesar US$ 8 triliun. Namun ada juga negara yang hanya mengalami koreksi atau pelemahan di level 9-11 persen.
Simak: Peluang dan Ancaman Perang Dagang AS-Cina
Khusus Cina, pergerakan pasar sahamnya sudah memasuki pelemahan sepekan terakhir ini. Indeks Shanghai Composite turun lebih dari 20 persen dan mata uang Yuan melemah tiga persen dalam dua pekan terakhir. Pelemahan Yuan terhadap dolar Amerika pada Rabu kemarin merupakan yang terendah sejak Desember 2017.
Sedangkan nilai tukar mata uang India, rupee, terhadap dolar Amerika mengalami tekanan terdalam. Untuk kali pertama rupee berada di posisi 69,09 per dolar atau melemah 0,7 persen dibanding sebelumnya. Terakhir rupee berada di level paling rendah, yaitu 68,86 pada November 2016.
Gubernur Bank Sentral India Urjit Patel mengatakan pendanaan terhadap dolar telah memicu keluarnya arus modal asing dalam enam pekan terakhir. Ia pun mendesak agar Bank Sentral Amerika Serikat menunda kenaikan suku bunga acuan. "Mengurangi laju kontraksi neraca-nya (suku bunga) cukup untuk meredam secara signifikan," kata Patel.
Kepala Riset Australia & New Zealand Banking Group Ltd Khoon Goh menyatakan tertekannya rupee utamanya disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia. India yang merupakan negara terbesar ketiga pengonsumsi minyak mentah dihantui defisit transaksi berjalan. Selain itu, ia menilai arus modal asing masih akan keluar dari India dalam lima bulan ke depan. Tercatat investor asing telah mengurangi kepemilikan obligasi pemerintah dan korporasi sebesar US$ 6,1 miliar dan menarik US$ 785 juta modal sejak awal 2018.
Institute International Finance mencatat sepanjang Mei 2018 terjadi arus modal keluar dari negara-negara berkembang (emerging market) sebesar US$ 12,3 miliar akibat isu perang dagang. Di pasar obligasi dan saham tercatat arus keluar mencapai US$ 6 miliar. Di kawasan Asia arus modal asing yang keluar mencapai US$ 8 miliar dan di Afrika serta Timur tengah mencapai US$ 4,7 miliar.
ADITYA BUDIMAN | REUTERS