TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listiyanto memperkirakan penerimaan negara tahun ini masih dibayangi risiko shortfall atau penurunan penerimaan pajak. Hal ini seiring dengan ancaman fluktuasi nilai tukar rupiah.
Eko menjelaskan, meskipun penerimaan pajak cukup tinggi, tetap ada potensi terjadinya shortfall pada triwulan ketiga. Shortfall adalah kondisi penerimaan pajak melonjak turun dari target penerimaan karena berbagai hal.
Baca: PPh Final Turun, Ditjen Pajak Targetkan UMKM Pembayar Pajak Naik
Karena itu, menurut Eko, pemerintah tidak dapat menjalankan bisnis seperti biasa saja jika ingin mencapai target pendapatan. "Potensi terjadi shortfall pada triwulan ketiga sangat tinggi karena dinamika kurs dan naiknya suku bunga," ujar Eko, Rabu, 27 Juni 2018.
Eko menyebutkan, jika kurs tidak segera ditangani, dinamikanya akan berimbas pada dunia usaha. Nilai tukar rupiah harus bisa dijaga di level 13.750 per dolar Amerika Serikat, supaya pertumbuhan pajak tetap dalam tren positif.
Baca: Sosialisasi PPh UMKM, Jokowi Heran Tawaran Sepedanya Tidak Laku
Nilai tukar rupiah terhadap dolar saat ini yang mendekati 14.200 dinilai akan memberikan beban kepada wajib pajak di dunia usaha. Pasalnya, wajib pajak (WP) yang berpenghasilan tinggi merupakan WP yang bertransaksi dengan dolar. Dengan demikian, jika persoalan kurs tidak segera ditangani, pendapatan dari pajak dapat dipastikan menurun.
Tren kenaikan suku bunga untuk menghambat laju pelemahan rupiah, menurut Eko, juga sedikit banyak akan mempengaruhi dunia usaha. Dengan naiknya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), bunga kredit dipastikan akan naik dan menghambat pertumbuhan di sektor riil.
Kondisi ini, kata Eko, diperburuk oleh kebiasaan birokrasi di Indonesia. "Penerimaan pajak masih jauh dari sasaran, baru pada triwulan empat digenjot. Belanja negara juga demikian, baru diperketat pada akhir tahun."