TEMPO.CO, Jakarta -Harga minyak saat ini mencapai level lebih tinggi dalam tiga tahun terakhir dan kemungkinan masih akan terus melonjak mencapai US$80 per barel jika AS dan Uni Eropa tetap memberikan sanksi ke Iran dan memperluas perang Suriah. Pada penutupan perdagangan Sabtu, 14 April 2018, harga minyak Brent telah menyentuh US$ 72,8 per barel naik 0,56 poin atau 0,78 persen dari hari sebelumnya.
Ahli strategi JPMorgan Jhond Norman mengatakan bahwa konflik dengan Suriah tidak berpengaruh terlalu besar terhadap persediaan minyak, tetapi memang produksinya sudah sangat jauh berkurang setelah perang selama tujuh tahun.
“Risiko yang diperkirakan muncul pada musim panas justru datang lebih cepat karena kasus di Suriah itu,” katanya.
Dia juga menyebutkan akan ada keputusan baru pada Mei mendatang terkait dengan sanksi terhadap Iran. “Sebagai awal dari proses untuk mempertahankan tekanan pada pasar minyak, sehingga harga dan volatilitasnya tinggi,” ungkap Jhond.
Baca: ICP Naik US$ 1, Sri Mulyani: Penerimaan APBN Naik Rp 1,1 T
Brian Baris dari Cambiar Investors, Denver, AS dan James Paulsen dari Leuthold Weeden Capital Management, Minneapolis, AS berpendapat bahwa peminat bisnis energi sudah berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Posisi bullish Brent telah mencapai rekor tertinggi yang berakhir 10 April lalu.
JP Morgan menyebutkan harga minyak akan mampu bertahan hingga 3-6 bulan ke depan sebelum produsen AS kembali merespons untuk terus menambah produksi daripada memangkas persediaan yang bisa berpengaruh pada pasokan global.
Meskipun Brent naik 8 persen tahun 2018 dan lebih dari 30 persen dibanding setahun terakhir, pergerakan harganya terbilang cukup stabil dan tidak perlu khawatir jika permintaan meningkat.
“Perdagangan minyak sedang menonjol di pasar bulan ini, satu-satunya harga asset global yang mencapai kenaikan harga tertinggi di 2018, namun alasan kami fokus kembali ke minyak mentah minggu ini adalah karena masalah geopolitik dan konteks potensi sistemik.”
BISNIS