TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Hidayat Amir, mengatakan keputusan merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2018 hanya diambil jika benar-benar diperlukan. Namun, berdasarkan revisi-revisi tahun sebelumnya, APBN yang ditetapkan jauh lebih mendekati realisasi dari APBN Perubahan.
Keputusan mengubah APBN, menurut Hidayat, akan diambil hanya jika hal tersebut merupakan solusi terbaik. "Tapi ini kita baru melihat sampai bulan Februari, kita lihat saja dulu," katanya, Sabtu, 3 Maret 2018.
Baca: ICP Naik US$ 1, Sri Mulyani: Penerimaan APBN Naik Rp 1,1 T
Karena salah satu asumsi makro, yakni harga minyak dunia, belakangan ini naik, tak ayal membuat banyak pihak mendesak pemerintah melakukan revisi APBN. Asumsi harga minyak dalam APBN 2018 ditetapkan US$ 48 per barel, tapi harga realisasi saat ini melesat tinggi hingga kisaran US$ 63 per barel.
Selain itu, tekanan terjadi dari sisi dolar yang memicu nilai tukar rupiah melemah hingga melebihi Rp 13.700 per dolar Amerika Serikat atau melampaui asumsi dalam APBN, yakni Rp 13.400 per dolar Amerika.
Baca Juga:
Hidayat mengakui adanya tekanan yang terjadi dari sisi minyak dan nilai tukar, tapi pihaknya bertekad tidak melakukan revisi. "Cuma kalau kita punya tekad supaya tidak berubah," tuturnya.
Pasalnya, menurut Hidayat, revisi APBN hanya akan menyebabkan permasalahan menjadi lebih pelik pada masa mendatang. Hal ini juga akan berimbas kepada belanja kementerian/lembaga yang meningkat. "Karena biasanya jika dibuka APBN-P semua punya aspirasi, maka setiap kementerian/lembaga akan meminta kenaikan alokasi belanja," ucapnya.
Padahal resource yang pemerintah punya hanya sedikit dan proses perubahan APBN akan membuat semua proyek pemerintah terhenti. Selain itu, terkait dengan profit PT Pertamina yang tergerus, Amir mengatakan perseroan cukup kuat menghadapi gejolak dalam harga minyak. "(Lagi pula), Pertamina tidak rugi, hanya berkurang profitnya sedikit," kata Hidayat.
Adapun untuk membantu keuangan dalam operasional Pertamina, menurut Hidayat, pemerintah cukup dengan mempercepat pembayaran kewajiban. "Jadi kewajiban pemerintah yang harus dibayarkan dengan segera untuk membantu keuangan Pertamina," ujarnya.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto mengatakan mendukung jika pemerintah percaya diri dengan ketetapan APBN 2018. Sebab, menurut dia, pemerintah telah benar dalam menetapkan defisit anggaran 2,19 persen. "Itu akan sangat membantu pemerintah dalam menghadapi berbagai gejolak," tuturnya.
Dengan begitu, Eko menyebutkan sangat memungkinkan pemerintah mempunyai cadangan dalam menghadapi berbagai gejolak, seperti kenaikan harga minyak. Eko mengatakan urgency revisi APBN akan timbul jika hanya melihat gap harga minyak. "Tetapi, jika Anda dapat mengatur anggaran-anggaran yang digunakan secara efektif, saya masih yakin tanpa revisi APBN bisa," ucapnya.