TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, menyebut kepemilikan asing terhadap 40 persen surat berharga negara (SBN) atau obligasi dalam utang luar negeri tidak menjadi masalah.
"Dibeli investor asing itu baik karena tandanya kita dipercaya. Prospek perekonomian baik dan mereka percaya kita dapat membayarnya," tutur Suminto dalam sebuah diskusi di kantor DPP Taruna Merah Putih, Jakarta, Kamis, 12 April 2018.
Pemerintah sebelumnya merilis data jumlah utang pemerintah Indonesia hingga akhir Februari 2018 mencapai Rp 4.034 triliun. Posisi ini naik 13,46 persen dibanding periode yang sama tahun lalu Rp 3.556 triliun atau 29,24 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan data yang ia paparkan dalam presentasi, utang tersebut terbagi dalam dua jenis. Pertama, utang dalam bentuk pinjaman luar negeri yang tercatat sebesar Rp 777,54 triliun atau sekitar 19,27 persen dari total keseluruhan. Sementara kedua adalah utang dalam bentuk SBN sebesar 3.257,2 T atau 81,73 persen.
Sebanyak Rp 2.146,7 triliun dari total SBN tersebut dapat diperdagangkan atau tradeable. Sekitar Rp 858,7 triliun atau 40 persen diantaranya dimiliki asing dan 60 persen sisanya, sekitar Rp 1.288,2 triliun, dimiliki oleh domestik seperti Bank Reksadana, Asuransi, dan BPJS.
Dari data yang sama, sebanyak 41,7 persen dari SBN yang dimiliki asing, atau sekitar Rp 358,09 triliun, dimiliki oleh lembaga keuangan. Sebanyak 19,05 persen atau Rp 163,61 triliun dimiliki oleh reksadana. Bank sentral dan pemerintah asing memiliki sekitar 16,74 persen atau Rp 143,77 triliun. Sementara 12,85 persen atau Rp 110,34 triliun dimiliki oleh lainnya.
Baca: Soal Utang, Kemenkeu: Kita Pintar Mengkritik, Bukan Beri Solusi
Kemudian 5,43 persen atau Rp 46,63 triliun dimiliki oleh dana pensiun, 2,56 persen atau Rp 22,01 triliun dimiliki korporasi, serta Rp 10,21 triliun atau 1,19 persen dimiliki oleh asuransi. Kemudian 0,22 persen atau 1,91 triliun dimiliki oleh sekuritas, 0,20 persen atau Rp 1,75 triliun dimiliki oleh yayasan, dan terakhir 0,05 persen atau Rp 0,47 triliun dimiliki oleh perorangan.
Pihak asing yang memiliki SBN Indonesia untuk utang, lanjut Suminto, merupakan investor jangka panjang dan bukan sekedar spekulan. Meski begitu, ia mengaku pemerintah tetap memahami adanya potensi risiko penarikan modal oleh asing.
"Pihak asing yang memegang Rp 858,7 triliun obligasi kita itu rata-rata transaksi hariannya 8-11 triliun mereka jual. Itu masih jauh dari bahaya. Kalau Rp 100 triliun sehari, waduh, baru bahaya itu," ujar dia.
Dia melanjutkan pemerintah telah memiliki mekanisme untuk mengantisipasi jikalau pihak asing melepas kepemilikannya terhadap surat utang atau surat berharga negara (SBN).
"Kalau sampai kejadian seperti itu kami sudah memiliki mekanisme atau protokol untuk menanganinya. Misalnya, amit-amit, kalau terjadi capital outflow," tutur dia dalam sebuah diskusi di kantor DPP Taruna Merah Putih, Jakarta, Kamis, 12 April 2018.
Berdasarkan pemaparan Suminto, langkah-langkah dalam tindakan itu adalah mengimplementasikan Crisis Management Protocol (CMP), Bond Stabilization Frameworks (BSF), meningkatkan koordinasi antara lembaga pemerintah, dan melakukan dialog berkelanjutan dengan para pelaku pasar.
Selain itu, langkah yang lain adalah membuat kebijakan khusus untuk mengatasi krisis yang dimasukkan dalam UU, lalu melakukan pengaturan fasilitas swap berdasarkan kerja sama internasional. Suminto juga menyebut ada empat tingkat krisis kondisi pasar SBN yang selalu dipantau, yaitu normal, waspada, siaga, dan krisis. Kemudian indikator-indikator yang diawasi adalah yield seri benchmark, nilai tukar, IHSG, serta kepemilikan asing di SBN.
Jika terjadi krisis, lanjut Suminto, pemerintah akan mengeluarkan dua kebijakan yaitu pembelian kembali SBN di pasar sekunder serta menunda atau menghentikan penerbitan SBN.
Ia pun mengaku pemerintah meneliti terlebih dahulu profil investor asing yang ingin membeli SBN Indonesia. Hal itu bertujuan untuk melihat besar tidaknya risiko jika menjual SBN kepada mereka. Namun, lanjut Suminto, sejauh ini risiko bisa dikelola karena pihak asing yang membeli SBN Indonesia merupakan investor jangka panjang. "Jadi bukan hanya sekedar spekulan saja," tutur dia.