TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bakal memanggil para pakar lingkungan untuk menghitung kerugian yang diakibatkan PT Freeport Indonesia. Direktur Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administrasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yazid Nurhuda, mengatakan penghitungan kerugian menjadi bekal pemerintah untuk menggugat Freeport karena mencemari lingkungan.
Penghitungan kerugian ini dilakukan setelah Kementerian menjatuhkan sanksi administratif berupa paksaan kepada penambang tembaga asal Arizona, Amerika Serikat, ini. "Direktorat Penyelesaian Sengketa akan mengumpulkan data terkait dengan kerugian lingkungan," ujar Yazid kepada Tempo pada akhir pekan lalu. Dia juga akan menggunakan kalkulasi kerugian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai salah satu acuan.
Menurut Yazid, pemerintah melayangkan gugatan kepada Freeport Indonesia untuk memenuhi prinsip polluter pays principle, yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Nantinya, pemerintah memperhitungkan angka hilangnya tegakan hutan, keanekaragaman hayati yang terpangkas, ataupun pencemaran yang melebihi baku mutu.
Pemerintah sudah menyatakan pelanggaran oleh Freeport mengakibatkan kerugian ekosistem mulai sungai, kawasan hutan mangrove, hingga laut, dan paparan limbah pertambangan. Titik pencemaran berasal dari kolam penampungan limbah pasir sisa tambang atau modified Ajkwa deposition area (ModADA). Selain dari aktivitas pengerukan, fasilitas pendukung, seperti pembangkit listrik dan pabrik kapur, turut mengotori lingkungan. Lingkungan di sekitar tambang Grasberg di Papua rusak lantaran Freeport tidak menaati Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL).
Baca: Freeport Bayarkan Dividen Rp 1,4 Triliun Setelah Absen Tiga Tahun
BPK menghitung kerugian lingkungan lantaran operasi Freeport mencapai Rp 185 triliun. Angka tersebut disebabkan limbah pasir sisa tambang Freeport, yang meluber ke daratan hingga ke laut. Berdasarkan hasil audit investigasi BPK, limbah tumpah karena kapasitas ModADA tidak cukup menampung limbah, yang bertambah dari 100 ribu ton per hari pada 1990 menjadi 300 ribu ton per hari pada 2016.
Pemerintah sebenarnya sudah meminta Freeport mengubah metode penanganan limbah tambang dari melalui sungai ke jaringan pipa. Pasalnya, kolam penampungan diprediksi tidak akan cukup karena produksi perusahaan bakal jauh meningkat. Terutama saat tambang bawah tanah beroperasi hingga 2041. Namun, berdasarkan laporan tahunannya, perusahaan ngotot memakai cara lama karena berbiaya murah dan minim risiko. "Berdasarkan kajian kami, jaringan pipa justru lebih berisiko gagal," demikian pernyataan perusahaan dalam laporannya.
Ihwal hal ini, juru bicara Freeport, Riza Pratama, tidak menjawab permintaan konfirmasi Tempo.
Pakar hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, menyatakan pemerintah berpeluang menang dalam gugatan perdata terhadap Freeport. Menurut dia, pelanggaran Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 102 Undang-Undang Lingkungan sudah cukup menjadi bekal hakim untuk menjatuhkan vonis. "KLHK telah melakukan (gugatan) berkali-kali dan selalu menang," ujarnya kepada Tempo.