TEMPO.CO, Jakarta - Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan agar Indonesia tetap mewaspadai sentimen eksternal berupa risiko arus modal yang cenderung masih volatile di masa mendatang. Hal itu disampaikan meskipun IMF sebelumnya memuji Indonesia karena kinerja ekonomi yang baik dan ditopang pertumbuhan yang stabil, laju inflasi yang moderat dan defisit neraca berjalan yang terkendali.
Sentimen yang dimaksud tersebut adalah arus modal keluar dan masuk yang berpeluang tidak lagi stabil seperti tahun lalu. Untuk itu, IMF meminta agar Pemerintah Indonesia semakin memperkuat fundamental ekonominya agar dapat menahan sentimen eksternal yang tak terduga.
Baca: IMF Sebut Pertumbuhan 5,3 Persen, Sri Mulyani Kaji Sebabnya
Sentimen dari sisi eksternal tersebut setidaknya telah muncul sepanjang pekan ini, di mana pasar saham Indonesia bergerak seirama dengan bursa Asia lain yang memerah. Hal itu terjadi karena meningkatnya prospek kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) lebih cepat pada tahun ini.
“Prioritasnya harus ada pada paket reformasi struktural yang berisifat memperkuat diri dan secara berkesinambungan mendukung kenaikan pendapatan nasional,” tulis Dewan Direktur IMF dalam Laporan Konsultasi Article IV IMF dengan Indonesia, Rabu, 7 Februari 2018.
Kebijakan tersebut, lanjut Dewan Direktur IMF, akan membantu Indonesia membiayai pengeluaran pembangunan dan juga mendukung peningkatan kualitas di sektor produksi, tenaga kerja, dan keuangan.
Di sisi lain, Dewan Direktur IMF juga menyambut baik fokus strategi jangka pendek untuk mendukung pertumbuhan sambil menjaga stabilitas ekonomi nasional. Penyesuaian fiskal pada 2018 harus dilakukan secara bertahap untuk melindungi pertumbuhan sambil membangun kembali fundamental fiskal yang lebih kuat.
Dewan Direktur IMF juga sepakat bahwa kebijakan moneter yang ada saat ini cocok diaplikasikan untuk menargetkan stabilitas harga dan mendukung pertumbuhan serta mendukung perubahan kebijakan moneter yang lebih lanjut. “Kami menyambut baik komitmen pengambil kebijakan (Bank Indonesia) untuk menjaga fleksibilitas nilai tukar dan membatasi intervensi valuta asing untuk mencegah kondisi pasar yang tidak teratur."