TEMPO.CO, Jakarta -Lembaga Studi Advokasi Masyarakat ELSAM menilai registrasi kartu telepon prabayar dan mesin sensor internet rawan pelanggaran hak privasi warga negara. Menurut Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar hal itu karena minimnya aturan pelindungan.
"Kami menangkap bahwa ada yang tidak sejalan antara peraturan yang mengatur tentang ini dengan apa yang disampaikan, sehingga beberapa operator memberikan pengumumannya lain," kata Wahyudi Djafar di kantornya, Jakarta, Rabu, 18 Oktober 2017.
Ia mengambil contoh pencantuman nama ibu kandung. Menurut Wahyudi, berdasarkan keterangan Ditjen Pos Penyelenggaraan Informatika Kominfo tak perlu dicantumkan. Sebabnya nama ibu kandung adalah kata kunci untuk informasi rahasia seperti layanan perbankan maupun kartu kredit. "Sayangnya pasal 6 peraturan Kominfo nomor 12 tahun 2016 masih menyertakan kewajiban untuk mengirimkan nama ibu kandung dan nomer kartu keluarga dalam proses registrasi," kata Wahyudi.
Merespon beberapa hal tersebut, untuk memastikan perlindungan hak atas privasi warga negara, juga jaminan dalam pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi, ELSAM menekankan beberapa hal. Di antaranya adalah pemerintah perlu melakukan sinkronisasi regulasi khususnya di level peraturan teknis Permenkominfo, sebelum menerapkan kewajiban registrasi ulang SIM Card.
Pemerintah dan DPR segera mengagendakan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi, dalam Program Legislasi Nasional Prolegnas mendatang. Aturan ini nantinya mengikat bagi sektor publik atau negara maupun swasta yang memiliki layanan penyimpanan data.
"Regulasi ini mengatur perihal praktik perekaman, pengolahan, penyimpanan, dan penggunaan data pribadi, termasuk juga retensinya. Di dalamnya juga diatur mengenai badan yang memiliki otoritas untuk mengawasi penggunaan data-data pribadi tersebut," kata Wahyudi.
Menurut Wahyudi harus disediakan pula mekanisme pemulihan bagi setiap orang yang data pribadinya dipindahtangankan secara sewenang-wenang. Ketiga, pemerintah segara merespon mandat pembentukan Peraturan Pemerintah atau PP, sebagaimana diperintahkan oleh UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, khususnya yang terkait dengan penapisan dan pemblokiran konten.
Keempat, perlunya transparansi dan akuntabilitas baik secara proses dan hasil dalam penggunaan mesin sensor internet. "Bentuk transparansi dan akuntabilitas ini, selain tercermin dari tahapan tindakan, juga dapat dilakukan dengan penerbitan secara berkala informasi agregat terkait dengan tindakan tersebut," kata Wahyudi.
Catatan kelima, pemerintah segera mengagendakan inisiatif pembentukan RUU Perubahan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, untuk secara jelas mengatur perihal kebijakan konten internet, termasuk tanggung jawab penyedia layanan, yang mempertimbangkan prinsip- prinsip kebebasan berekspresi dan perlindungan hak atas privasi.
"Rekomendasi terakhir, perlunya meningkatkan akses publik terhadap informasi, pemahaman dan kesadaran ancaman terhadap privasi," kata Wahyudi
Menurut Wahyudi upaya tersebut dapat dilakukan dengan menyediakan informasi yang cukup mengenai potensi gangguan terhadap privasi saat melakukan registrasi kartu telepon prabayar. Juga dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga memahami risiko dari setiap keputusan dalam penggunaan sarana tersebut.
HENDARTYO HANGGI