Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta:Departemen Keuangan meminta 18 dealer utama tidak menggelembungkan harga penawaran surat perbendaharaan negara (SPN) pada lelang pertama 29 Mei mendatang.Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto mengungkapkan praktek ini disinyalir akan dilakukan dealer utama untuk mengantisipasi pengenaan pajak diskonto SPN sebesar 20 persen.Upaya penggelembungan harga penawaran SPN, menurut dia, sangat mungkin terjadi. Dengan begitu, diskonto yang diberikan kepada dealer utama juga akan tinggi. Pengenaan pajak penghasilan (PPh) sebesar 20 persen atas diskonto ini pun akan tertutup oleh penawaran yang dinaikkan harganya itu. "Dealer utama ujung-ujungnya masih menikmati diskon di harga wajar seperti sebelum di potong pajak PPh ini," kata dia kepada Tempo di Jakarta, akhir pekan lalu. Ke-18 dealer utama yang akan melakukan lelang di pasar perdana itu adalah Citibank, Deutsche Bank, HSBC, BCA, Bank Danamon, Bank DBS Indonesia, BII, Bank Lippo, Bank Mandiri, BNI, Bank Panin, BRI, Bank Permata, Standard Chartered Bank, Bahana Securities, Danareksa Sekuritas, Mandiri Sekuritas, dan Trimegah Securities.Seandainya upaya menaikkan harga SPN tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh semua dealer utama, Rahmat mengatakan, itu berarti tidak ada pajak yang dibayarkan kepada negara.Pengenaan pajak PPh itu, Rahmat melanjutkan, memang hanya dipungut di pasar perdana SPN. Di pasar sekunder dipastikan tidak ada lagi pungutan pajak atas penjualan SPN kepada investor. Asumsi seperti inilah, menurut dia, yang menimbulkan kesan kalau beban pajak SPN dikenakan kepada pihak pembeli pertama di pasar perdana, yaitu dealer utama."Sebenarnya mereka sudah dapat diskon meskipun sebagian dikenakan pajak, tapi jangan kemudian diskonnya itu disiasati sehingga beban pajaknya malah ditanggung pemerintah," kata dia.Menanggapi imbauan Departemen Keuangan itu, Ekonom Kepala PT Danareksa (Persero) Purbaya Yudhi Sadewa menilai pemerintah belum siap menerbitkan SPN. "Mereka (pemerintah) sepertinya sadar kalau belum siap (menerbitkan)," kata Purbaya kepada Tempo kemarin.Belum siapnya pemerintah itu tecermin dengan masih dikenakannya pajak diskonto SPN. "Seharusnya kan tidak perlu ada pajak atas diskonto," kata Purbaya.Pengenaan pajak diskonto SPN, dia melanjutkan, sama artinya pemerintah membebankan pajak pada dirinya sendiri. Sebab, dalam mekanisme pasar yang wajar tidak mungkin pelaku pasar akan berkorban untuk pemerintah. "Kalau pemerintah bebankan pajak, pastinya pajak itu akan dibebankan lagi ke dalam yield yang dimintakan kepada pemerintah," kata dia.Artinya, kata Purbaya, harga SPN yang normal nantinya adalah sebesar yield awal plus pajak diskonto yang dipungut pemerintah. "Pasar pasti minta yield 6 persen, kalau misalnya yield awal 5 persen dan pajak diskontonya 1 persen," kata dia.Kalau pemerintah tidak mau yang seperti itu, menurut dia, konsekuensinya SPN tidak akan laku karena pemilik dana lebih memilih membeli instrumen lain. "Sulit memaksa market minta return yang lebih rendah. Itu tidak mungkin. Kalau pemerintah ngotot, ya, harus mau tanggung konsekuensinya, SPN tidak laku," kata dia. l ANTON APRIANTO | AGUS SUPRIYANTO