Menteri Keuangan Sri Mulyani saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 10 Juni 2021. Rapat tersebut membahas pagu indikatif Kementerian Keuangan dalam RAPBN 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan salah satu risiko penerbitan utang adalah crowdingofeffect. Artinya, pemerintah melebarkan defisit seperti tahun ini hingga 5,7 persen dengan solusi menerbitkan utang untuk menutup defisit.
Bhima mengingatkan utang tersebut akan menyedot likuiditas dalam negeri dan akan mengganggu jalannya investasi untuk naik lebih tinggi.
"Itu akan menghambat pemulihan di sektor riil dan dunia usaha," kata dia kepada Antara di Jakarta, Sabtu 26 Juni 2021.
Dia meminta pemerintah lebih berhati-hati dengan memperhatikan dua aspek sebelum menerbitkan utang terutama pada masa krisis pandemi COVID-19.
"Sebelum menerbitkan utang baru sebaiknya pemerintah lebih berhati-hati dan ada dua hal hati-hatinya," katanya,
Aspek pertama adalah utang memiliki konsekuensi terhadap beban bunga yang meningkat, sementara sekarang 86 persen porsi utang pemerintah dalam bentuk surat utang atau surat berharga yang bunganya lebih tinggi dari pinjaman.
Aspek kedua yang harus diperhatikan adalah tujuan dari penggunaan utang yaitu antara belanja yang mendesak seperti penanganan pandemi dan perlindungan sosial atau belanja yang dapat ditunda seperti belanja infrastruktur.
Bhima pun menyarankan pemerintah sebaiknya menunda belanja yang tidak mendesak termasuk belanja untuk pembangunan infrastruktur.
"Sebaiknya, utang yang digunakan untuk infrastruktur atau moratorium itu bisa ditunda dulu," ujarnya.
Sinar Mas Land Melalui Digital Hub Gelar DNA VC Startup Connect
6 jam lalu
Sinar Mas Land Melalui Digital Hub Gelar DNA VC Startup Connect
Sinar Mas Land melalui Digital Hub berkomitmen untuk terus mendukung kemajuan ekosistem startup digital potensial di Indonesia melalui gerakan Digital Hub Next Action (DNA).