TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan permasalahan dalam pengelolaan utang selama ini bukan mengenai penambahan jumlahnya melainkan terkait produktivitas dari utang itu untuk menghasilkan valuta asing (valas) yang lebih besar.
"Apalagi, utangnya diterbitkan dalam bentuk utang luar negeri maka utang luar negeri harus dibayar dengan dolar dengan valas," katanya kepada Antara di Jakarta, Sabtu 26 Juni 2021.
Ia mengatakan seharusnya pemerintah lebih bisa mendorong sektor-sektor penghasil valas seperti ekspor dan devisa dari tenaga kerja. "Itu yang seharusnya didorong sekarang. Jadi, selama ini, itu yang menjadi masalah," ujarnya.
Dia menuturkan ada lima kunci dalam rangka memitigasi dan mengendalikan utang pemerintah, yang sedang naik signifikan dan menimbulkan kekhawatiran.
Ia menuturkan jika Indonesia memiliki beban utang yang berat dengan bunga Rp373 triliun per tahun, maka dapat meminta keringanan kepada kreditur agar pembayaran bunga utangnya ditunda hingga 2022 atau 2023.
"Mitigasi utang biar tidak bertambah adalah pertama, melakukan negosiasi utang dengan segera," katanya.
Bhima menyatakan negosiasi bisa diberikan kepada negara untuk melakukan penangguhan pembayaran utang terlebih lagi dalam konteks bencana pandemi COVID-19.