Sri Mulyani: Ekonomi RI Lebih Banyak Tumbuh Menggunakan Otot dan Keringat
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Martha Warta Silaban
Kamis, 1 April 2021 19:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didominasi oleh penambahan modal yang banyak dan jumlah tenaga kerja.
Adapun kontribusi Total Factor Productifity atau TFP dalam sumber pertumbuhan Indonesia, berdasarkan data 2010-2017, terpantau sangat rendah dibanding negara lain. Hal tersebut, menurut Sri Mulyani, mencerminkan tingginya inefisiensi produksi.
"Itu artinya kalau kita bicara seperti pemenang nobel yang mengatakan kita lebih banyak tumbuh menggunakan otot dan keringat, yaitu banyak modal dan banyak tenaga kerja, tapi tidak menciptakan nilai tambah berdasarkan inovasi," kata Sri Mulyani dalam webinar, Kamis, 1 April 2021.
Baca Juga: Sri Mulyani: Mencapai Indonesia Maju Tak Seperti Bangun Candi Roro Jonggrang
Berdasarkan bahan paparannya, TFP menggambarkan produktivitas dari tingkat efisiensi penggunaan kombinasi input kapital dan tenaga kerja, termasuk aspek peningkatan teknologi. Faktor yang mengakibatkan TFP rendah antara lain rendahnya pendidikan dan dominasi sektor informal, serta rendahnya utilisasi dan adopsi teknologi.
Sri Mulyani pun membandingkan faktor pendukung pertumbuhan ekonomi itu dengan Cina. Negeri Tirai Bambu yang sempat tumbuh 7,3 persen sebelum periode pandemi Covid-19, sebanyak 2,3 persen pertumbuhannya berasal dari produktivitas atau TFP. Selain itu, 4,8 persen berasal dari modal dan 0,1 persen berasal dari tenaga kerja.
"Bahkan India yang memiliki demografi muda dan memiliki tenaga kerja berlimpah, mereka memiliki produktivitas tinggi, begitu juga dengan Filipina," ujarnya .
Indonesia, menurut dia, memiliki potensi berupa demografi yang muda. Namun, sumber daya manusia itu perlu ditingkatkan kualitasnya untuk mampu berinovasi dan dapat bekerja menggunakan teknologi, sehingga produktivitasnya naik. "Kalau tidak, maka kita akan selalu out of compete," kata dia.
Berdasarkan pendidikannya, ia mengatakan 36,6 persen tenaga kerja Indonesia berpendidikan SMP. Adapun 24 persen adalah diploma namun tidak sesuai dengan permintaan pasar. Selain itu tenaga kerja lulusan vokasi sebanyak 16,4 persen dan SMA 23 persen.
Dari komposisi tersebut mayoritas lulusan SMP ke bawah bekerja di sektor informal. Begitu pula dengan lulusan SMA. "Sektor informal berarti gajinya sangat tidak pasti atau sangat rendah, tidak memiliki jaminan sosial, dan dalam situasi kesejahteraan tidak baik," kata dia.
Isu tersebut, kata dia, pun masuk kala pemerintah membahas Undang-undang Cipta Kerja. Dengan demikian, ia berharap Indonesia bisa membangun negara yang maju, kompetitif, inovatif, dan berpendapatan tinggi yang didasarkan pada sektor bernilai tambah tinggi.