TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Divisi Humas Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas (BP Migas), Gde Pradnyana, mengeluhkan soal rendahnya rata-rata harga jual gas domestik selama ini. Harga jual gas yang diekspor bisa sampai 60 persen lebih tinggi dibanding harga jual dalam negeri.
Rendahnya harga gas dikhawatirkan dapat merugikan industri dan konsumen gas dalam negeri. "Sebab, dengan harga rendah, para kontraktor semakin enggan mengembangkan lapangan gasnya dan bisa merembet pada jaminan ketersediaan gas," ujar Gde, Selasa, 24 Januari 2012.
Dia membandingkan harga jual rata-rata gas ekspor melalui pipa dan pengiriman kargo gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG ) dari 2009 hingga 2011 mencapai kisaran US$ 10 hingga US$ 11 per juta British thermal unit (MMBTU). Sementara itu harga jual gas untuk domestik dalam kurun waktu yang sama tercatat hanya sebesar US$ 4 hingga US$ 4,5 per MMBTU.
Harga yang dipatok oleh PGN sebagai badan usaha milik negara malah jauh lebih murah dibanding harga rata-rata nasional. "Rata-rata harga gas nasional yaitu US$ 5,7 per MMBTU, sementara pasokan gas dari Conoco Philips ke PGN hanya dihargai US$ 1,8 per MMBTU," kata dia.
Wakil Kepala BP Migas, Hardiono, juga mendorong perbaikan harga gas untuk dalam negeri. Para pembeli diminta menawar harga yang sesuai, sehingga harga yang dijual tidak rendah dan lapangan gas bisa dikembangkan.
"Kami mintanya yang wajar. Artinya memenuhi aspek keekonomian tapi tetap masih lebih murah dibandingkan dengan harga ekspor,” ujar Hardiono.
Pihak industri, katanya, telah bersedia menerima harga antara US$ 6 sampai US$ per MMBTU. Bahkan Perusahaan Listrik Negara berani menawarkan harga hingga US$ 9 per MMBTU.
Hardiono mengharapkan agar PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dapat mengikuti tren positif ini. "Karena kenaikan harga gas yang dibeli perusahaan tersebut sangat berkontribusi positif bagi peningkatan penerimaan negara."
GUSTIDHA BUDIARTIE