TEMPO.CO, Semarang - Direktur Tindak Pidana Khusus Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Brigadir Jenderal Agung Setya mengatakan transaksi pendanaan terorisme belakangan dilakukan melalui kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank (money changer).
Rata-rata pelaku memanfaatkan penukaran valas di kupva bukan bank yang tak berizin. "Transaksi hasil atau untuk kejahatan lewat money changer ini memang menjadi tren. Hampir sama dengan lewat Bitcoin, tapi ini dia pegang uang fisik," kata Agung kepada Tempo di Semarang, Rabu, 29 Maret 2017.
Kepolisian menemukan lebih dari 750 kegiatan usaha penukaran valas nonbank yang ilegal. Di situlah pelaku kejahatan kerap bertransaksi, mengirim atau menukar uang dengan komplotannya.
Baca: Penukaran Uang Ilegal Rawan Transaksi Hasil Kejahatan
Agung mencontohkan kejahatan dengan pembajakan surat elektronik perusahaan untuk mengakses data keuangan. "E-mail perusahaan di-hijack, transaksi dibelokkan ke suatu bank. Dari bank dibelokkan ke money changer bodong seperti ini. Jadi kalau dipindah-pindah, kami tak pernah ketemu orangnya. Itu yang sulit," kata Agung.
Bareskrim Polri bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menelusuri dugaan aliran pembiayaan aksi terorisme. PPATK memang sedang berbenah menelusuri sistem ini.
Tak hanya melalui money changer, PPATK mengendus pendanaan dilakukan melalui teknologi berbasis keuangan atau financial technology (fintech), seperti Bitcoin dan PayPal. Fintech menjadi alternatif para pelaku kejahatan menyembunyikan aliran uang mereka.
Simak: BI Temukan 783 Money Changer Bodong, Apa Bahayanya?
“Fintech ini sangat rentan tindak pidana terorisme dan pencucian uang. Kami (PPATK) sudah berkomunikasi dengan para pelaksana fintech tersebut,” kata Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin, Kamis, 23 Maret 2017.
Fintech mulai mencuat setelah kepolisian mengumumkan asal dana tindak pidana terorisme sel rekrutan pentolan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) asal Indonesia, Bahrun Naim, pada akhir 2016. Kepolisian mengatakan sel-sel teroris tersebut menerima uang dari Australia dan sejumlah negara Asia melalui Bitcoin dan PayPal.
Berdasarkan data PPATK, ada 97 transaksi senilai Rp 88,8 miliar dari Australia, 44 transaksi senilai Rp 745,8 juta dari Malaysia, tujuh transaksi senilai Rp 26,1 juta dari Singapura, dan satu transaksi dari Filipina senilai Rp 25 juta.
Simak: Perbaiki Peringkat Kemudahan Berbisnis, Ini Langkah Sri Mulyani
Direktur Pemeriksaan dan Riset PPATK Ivan Yustiavandana, yang sekaligus Ketua Desk Pemantauan Transaksi Melalui Fintech, mengatakan penelusuran transaksi dana terorisme ini sulit ditemukan karena besaran uangnya kecil. Menurut dia, satu transaksi menggunakan fintech hanya di bawah Rp 2 juta.
“Biaya mereka sangat kecil. Biasanya cuma untuk biaya ransum dan logistik. Satu bom saja hanya beberapa juta rupiah,” kata Ivan. Karena itu, penelusuran selama ini masih mengandalkan penyelidikan Detasemen Khusus Antiteror 88 Mabes Polri yang mengirimkan nama-nama terduga teroris.
PUTRI ADITYOWATI | FRANSISCO ROSARIANS