TEMPO.CO, Jakarta - Polemik kontrak karya antara PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia dianggap mengesampingkan karyawan perusahaan pertambangan emas itu. Sejak kekisruhan ini muncul dua pekan lalu, sudah seribuan karyawan dirumahkan. “Setiap hari, kami harus deg-degan jika HRD memanggil dengan membawa amplop putih,” kata Rizal, bagian komunikasi dan digital PT Freeport Indonesia kepada Tempo, kemarin, Selasa, 28 Februari 2017.
Keresahan hati ini juga diungkapkan seorang karyawan bernama Yosua Kristianto. Ia terkena Furlough atau dirumahkan oleh perusahaan sejak 22 Februari 2017. Ia menuliskan kegundahannya di Indonesiana.
Baca: Curahan Hati Karyawan Freeport
“Hanya membutuhkan waktu 10 hari dari diinformasikan tentang kondisi perusahaan yang sedang konflik hingga benar-benar dipanggil untuk di-forlough-kan, semua terasa begitu cepat dan proses ini sedang dan akan berlanjut entah sampai kapan,” demikian seperti dituliskan ayah satu anak ini di Indonesiana pada 28 Februari 2017.
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Fahmy Radhi, memperkirakan Freeport tidak akan pernah merealisasikan ancaman untuk memperkarakan Indonesia ke Arbitase. “Selain peluang menang kecil, juga berisiko besar,” tulis Fahmy dalam opini di Indonesiana berjudul Selamatkan Freeport untuk Kemakmuran Rakyat yang diunggah pada 25 Februari 2017. Fahmy menuturkan alasan ketidakberanian Freeport melakukan lantaran berisiko semakin merosotnya harga saham McMoRan Copper & Gold Inc di Bursa New York (FCX).
Baca Juga:
Dalam tulisan sebelumnya, Fahmy mengatakan perilaku Freeport yang mengancam Indonesia, sudah sangat berlebihan. “Sehingga bangsa Indonesia harus melawan,” katanya.
Baca: Lawan Ancaman Freeport
ISTIQOMATUL HAYATI