TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menilai, dalam dua tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, ketergantungan terhadap impor semakin tinggi.
Menurut dia, meningkatnya impor terutama terjadi pada impor bahan pangan, minyak dan gas, serta barang konsumsi.
Pada impor bahan pangan, kata Heri, terdapat berbagai impor bahan pangan yang strategis, salah satunya beras. Heri menyesalkan impor beras sangat tinggi. Sepanjang Januari hingga Desember 2015, impor beras senilai US$ 351,6 juta. Pada 2016, hingga Juli, impor beras telah melebihi impor beras tahun lalu, yakni senilai US$ 447,7 juta.
"Baru setengah tahun, tapi jumlah impor beras sudah melebihi impor beras dalam satu tahun kemarin. Pada Desember, impor beras mungkin bisa naik 200 persen," ujar Heri dalam diskusi Indef bertema “Dua Tahun Nawacita: Lampu Kuning Produktivitas dan Daya Saing” di kantor Indef, Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis, 20 Oktober 2016.
Volume impor migas, menurut Heri, juga terus meningkat. Berdasarkan data Indef, impor migas pada September 2016 meningkat 8,24 persen dibandingkan impor migas pada September 2015. Padahal Indonesia merupakan salah satu negara penghasil energi terbesar. "Energi dalam bentuk raw material malah kita jual ke luar negeri," kata Heri.
Heri menuturkan impor barang konsumsi pun melejit. Sepanjang Januari hingga September 2016, berdasarkan data Indef, impor barang konsumsi meningkat 12,8 persen. Impor barang konsumsi tersebut, menurut Heri, jauh meninggalkan impor barang baku yang turun 9,8 persen serta impor barang modal yang turun 12,6 persen.
Turunnya impor bahan baku dan impor barang modal itu, menurut Heri, menyebabkan industri dalam negeri mengalami kontraksi. "Di sisi lain, ekspor dari berbagai sektor, termasuk industri, juga kian merosot. Penurunan kinerja industri dalam negeri pun tercermin dari berkurangnya jumlah perusahaan industri," tuturnya.
Heri mengatakan, meskipun nilai perdagangan pada September lalu mengalami surplus US$ 1,21 miliar, surplus itu disebabkan penurunan impor yang lebih tajam dibandingkan penurunan ekspor. "Itu surplus yang tidak sehat. Memang menghemat devisa, tapi apa itu yang kita inginkan? Impor boleh meningkat, tapi ekspor harus meningkat jauh lebih besar," ucapnya.
Heri menilai penyebab derasnya impor adalah minimnya kebijakan pengamanan pasar domestik dari pemerintah yang tercermin dari kuantitas non-tariff measures (NTM). Menurut Heri, Indonesia hanya memiliki 272 jenis NTM. Jumlah tersebut sangat jauh dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki 4.780 NTM dan Cina yang memiliki 2.194 NTM.
ANGELINA ANJAR SAWITRI