TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) merespons soal kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen. Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus membandingkan besaran tarif PPN di Asia Tenggara.
"Jadi kalau Indonesia (tarif PPN) sampai 12 persen, Indonesia akan menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara," ujar Ahmad dalam diskusi publik secara virtual pada Rabu, 20 Maret 2024.
Ahmad menyebutkan, Malaysia menerapkan tarif PPN sebesar 6 persen. Sedangkan di Singapura dan Thailand dikenakan tarif sekitar 7 persen. Lalu tarif PPN di Kamboja, Laos, dan Vietnam sekitar 10 persen. Serta yang tertinggi di Filipina yaitu sebesar 12 persen.
Kebijakan PPN di Tanah Air diatur dalam Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Berdasarkan beleid tersebut, pemerintah perlu menaikkan pajak secara bertahap.
Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Undang-undang HPP, tarif PPN sebesar 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022 lalu. Kemudian tarif PPN naik menjadi 12 persen paling lambat mulai 1 Januari 2025. Pada pasal Pasal 7 ayat 3 Undang-undang HPP, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
Menurut Ahmad kenaikan PPN akan memberatkan konsumen yang 95 persen pendapatannya digunakan untuk membeli kebutuhan pokok. Dengan demikian, dampak kebijakan ini terhadap pendapatan setiap lapisan masyarakat akan berbeda-beda. Bisa jadi, kata dia, dampaknya bagi masyarakat golongan bawah akan lebih besar dibandingkan golongan menengah dan atas.
Ia menjelaskan PPN 12 persen akan meningkatkan biaya produksi. Sehingga, harga-harga akan meningkat dan konsumen harus membayar lebih tinggi untuk barang dan jasa yang diperolehnya. Ketika masyarakat tidak mengalami peningkatan pendapatan yang melebihi kenaikan harga barang-barang, daya beli lebih rendah.
Bila daya beli melemah, ia menuturkan utilisasi produksi dari sektor riil juga ritel akan menurun. Ia khawatir penjualan akan menurun karena masyarakat perlu lebih menghemat dalam mengalokasikan anggarannya.
Jika sektor ritel menurun, ucap dia, dunia usaha akan menyesuaikan penggunaan input produksinya. Apabila ini terjadi, kemungkinan perusahaan akan memangkas penyerapan tenaga kerja. Penyesuaian yang dilakukan oleh perusahaan bisa berupa pengurangan jam kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK). Langkah itu pun akan berimbas pada penurunan pendapatan.
Apabila pendapatan masyarakat turun, konsumsi akan merosot hingga menghambat pertumbuhan ekonomi. Ujungnya, kata dia, pendapatan negara secara agregat akan turun. Sebab, pajak memiliki titik optimalnya ketika masyarakat bisa menerima dengan kemampuan konsumsi yang ada pada saat itu.
Pilihan Editor: PPN Naik jadi 12 Persen, Ekonom Ini Ungkap Pro dan Kontra hingga Hitungan Proyeksi Penerimaan Negara