TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) menilai pembatasan impor garam bukan solusi meningkatkan produktivitas petani garam lokal. Sebab, terdapat perbedaan kualitas dan kualifikasi antara garam impor dan garam lokal.
"Garam lokal bisa untuk konsumsi, tapi tidak bisa digunakan untuk industri karena kualifikasi yang dibutuhkan berbeda," ujar Ketua AIPGI, Tony Tanduk, di kawasan SCBD, Jakarta, Jumat, 24 Juni 2016.
Tony mengatakan pemanfaatan garam lokal kualifikasinya cocok untuk pengasinan ikan dan konsumsi langsung. Namun tak sesuai dengan kualifikasi garam yang dibutuhkan industri. "Garam lokal kita kan mudah hancur, enggak sesuai. Industri tidak bisa pakai yang seperti ini," katanya.
Kebutuhan garam dalam negeri setiap tahun, kata Tony, mencapai 3,2 juta ton. Pengasinan ikan membutuhkan garam sekitar 400 ribu ton, konsumsi langsung manusia 700 ribu ton, industri dan aneka pangan 400 ribu ton. Selanjutnya kebutuhan industri kimia (bleaching) dan industri kimia polimer (petrokimia) sebesar 1,9-2 juta ton, serta kosmetik dan farmasi sekitar 300 ribu ton.
Sementara itu, total produksi petani garam lokal baru sebanyak 1,6 juta ton dengan luas lahan 26 ribu hektare. Selanjutnya, data stok dan kualitas garam lokal menurut Tony masih simpang-siur, sehingga fungsi kontrol pemerintah untuk memastikan produktivitas garam dipertanyakan. "Saya heran, kata Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi kita meningkat tapi fakta lahan kita menurun," ujarnya.
Menurut Tony, perbaikan sistem pendataan yang transparan perlu dilakukan dengan menggunakan data valid hasil produksi garam lokal. "Jadi, bisa disampaikan secara resmi dan rinci posisi dan serta stoknya," ucapnya. Ada sekitar 20 sentra garam di seluruh Indonesia, dengan sentra unggulan terletak di Madura, Pantura, Rembang, Flores, hingga Nusa Tenggara Barat (NTB). "Jangan sampai kita gembar gemborkan produksinya sekian tapi barangnya enggak jelas."
Sebagai solusi, kata Tony, yang diperlukan adalah reformasi di sektor hulu, yaitu peningkatan kualitas. Berikutnya, peningkatan kemitraan industri pengguna dan kelompok petani garap serta pembentukan tim pengendali dan pengawas.
GHOIDA RAHMAH