TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yakin kebijakan yang dirilisnya tidak menyalahi aturan dalam Undang-Undang Perbankan. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menyebutkan, data transaksi kartu kredit yang dilaporkan itu semata-mata akan digunakan untuk kepentingan perpajakan saja, seperti untuk mengetahui profil wajib pajak.
Data-data itu, kata Yoga, wajib dijaga kerahasiaannya dan tidak boleh diberikan kepada pihak lain. "Jadi data kartu kredit yang diberikan ke DJP kita jamin keamanannya," ucapnya, di kantornya, Selasa, 7 Juni 2016.
Yoga menjelaskan, data transaksi kartu kredit itu nantinya akan disandingkan dan dibandingkan dengan data penghasilan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Menurut Yoga, selama penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Pajak Penghasilan (PPh) jelas, benar, dan lengkap, begitu pula transaksi kartu kredit yang dilakukan dalam batas wajar penghasilan, tidak perlu khawatir akan ada masalah ke depannya.
Pernyataan Yoga menanggapi kekhawatiran pengguna kartu kredit setelah adanya kebijakan yang mewajibkan perbankan melaporkan setiap transaksi nasabahnya. Kekhawatiran itu tampak dari adanya penurunan volume transaksi kartu kredit, serta laporan sejumlah perbankan yang nasabahnya menutup account dan menurunkan limit transaksi.
Lebih jauh, Yoga menilai kekhawatiran itu terlalu berlebihan. “Kami melihat penurunan ini jangka pendek," ujarnya. Penurunan transaksi dalam jangka panjang, menurut dia, tidak akan terjadi seiring dengan pemahaman masyarakat terkait kebijakan ini. "Enggak akan terjadi gara-gara ini terus enggak akan mau pakai kartu kredit lagi. Ini bukannya kemajuan, malah kemunduran."
Mulai akhir Mei kemarin, semua perbankan dan perusahaan yang menerbitkan kartu kredit akan diwajibkan melaporkan data transaksi kartu kredit ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan setiap bulannya. Kewajiban itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39 Tahun 2016 yang diresmikan pada 23 Maret lalu.
Dalam beleid tersebut, data transaksi kartu kredit yang dapat diminta oleh DJP meliputi nama bank, nomor rekening kartu kredit, ID merchant, nama merchant, nama pemilik kartu, alamat, nomor induk kependudukan (NIK) atau nomor paspor, NPWP, bukti tagihan, rincian transaksi, dan pagu kredit nasabah.
Yoga menuturkan, dasar hukum kebijakan tersebut jelas diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) pasal 35 A. Pengumpulan data tersebut dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan. Termasuk di dalamnya informasi mengenai nasabah debitur atau secara spesifik pengguna kartu kredit.
GHOIDA RAHMAH