TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dinilai sudah tidak dapat lagi mengendalikan pasokan gandum di pasar dalam negeri. Padahal, proporsi konsumsi gandum terhadap total konsumsi warga Indonesia saat ini diperkirakan sebesar 22 persen. Ini mengkhawatirkan karena ketergantungan impor gandum masih tinggi.
Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa menilai kondisi ini akan berbahaya bila dibiarkan. Slogan diversifikasi pangan dari beras ke gandum adalah hal yang kurang tepat. "Harusnya bukan no rice, tapi no wheat," katanya di Jakarta, Rabu, 30 Desember 2015.
Menurut Dwi, kebijakan diversifikasi dari beras ke gandum dinilai tidak tepat. Pasalnya, sebagian besar pasokan gandum di Indonesia berasal dari luar negeri. "Diversifikasi ke gandum akan menyulitkan petani."
Indonesia sudah tidak terpisahkan dengan beras. Konsumsi beras sudah berlangsung sejak abad ke-7. Hal ini, menurut Dwi, sudah menjadi kebudayaan tersendiri, terutama di Jawa. Untuk Sumatera budayanya adalah agroforestri. Sedangkan untuk daerah timur kebudayaannya berdasarkan sejarah adalah berburu dan meramu. "Kalau mau berubah menjadi wheat culture, ini celaka," katanya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan Aliansi untuk Desa Sejahtera pada Oktober 2014 hingga September 2015, impor gandum mencapai angka yang fantastis, yakni sebesar 7.491.982,524 ton. Nilai impor ini setara dengan US$ 2,3 miliar. Nilai ini cukup tinggi dibandingkan dengan komoditas lain, seperti beras, jagung, dan kedelai.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI