TEMPO.CO, Jakarta - Pertamina menjadi satu-satunya badan usaha milik Negara (BUMN) yang memiliki kewajiban untuk menyalurkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kepada masyarakat, termasuk di Kalimantan.
Distribusi ini harus dilakukan meski harus melalui kondisi alam yang dianggap tidak memungkinkan untuk dilalui. Untuk mengetahui hal ini, Bisnis berkesempatan mewawancarai General Manager PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region VI Kalimantan Fariz Azis. Berikut petikannya.
Bagaimana kondisi penyaluran bahan bakar minyak sampai ke masyarakat di seluruh Kalimantan selama ini?
Kalau pendistribusian ke masyarakat sudah relatif lancar, karena fasilitas kami sudah lengkap. Filling shed untuk mengisi ke mobil tangki dan armada mobil tangki sendiri juga banyak. Asal produknya ada kami bisa salurkan. Adakalanya terkendala, tetapi bisa diantisipasi dengan cepat. Jadi relatif tidak terkendala.
Bagaimana dengan tingkat konsumsi atau permintaan BBM oleh masyarakat di Kalimantan saat ini?
Perekonomian sekarang sedang lesu, jadi konsumsi Solar subsidi ini turun kurang lebih 20 persen dari rata-rata normal. Itu perkiraan penurunan region Kalimantan, kalau nasional lebih kecil sedikit. Kalimantan lebih besar dari nasional karena mungkin selama ini banyak yang menggunakan Solar subsidi yang peruntukannya mungkin tidak tepat. Antrenya di SPBU, pembeliannya biasanya dengan tangki normal dan setelah itu mungkin ada pengumpul-pengumpul Solar bersubsidi. Kemudian sektor pertambangan batu bara merosot, akhirnya antrean pada Solar bersubsidi juga turun. Lambatnya perekonomian juga membuat konsumsi Premium turun. Sekarang ada Pertalite dan produk ini cukup booming dan diterima masyarakat Kalimantan. Minggu depan TBBM Pontianak mulai menyediakan Pertalite. Sudah ada empat TBBM yang memenuhi permintaan masyarakat untuk Pertalite.
Bagaimana dengan kendala penyediaan elpiji?
Pendistribusian LPG punya lebih panjang rantainya dibandingkan BBM karena dari depot itu ke SPBE dulu, dari SPBE nanti diambil oleh agen, lalu disalurkan lagi ke pangkalan, setelah itu kadang-kadang pangkalan menyalurkan lagi ke pengecer. Seringkali yang dilihat wartawan stok LPG kosong adalah stok di pengecer. Persediaan stok pengecer kosong belum tentu stok di pangkalan kosong. Pendistribusian LPG ini lebih khusus, lebih rumit, jadi kami harus betul-betul memetakan wilayahnya. Enggak semudah BBM, dari SPBU langsung sampai ke masyarakat, monitoring juga lebih mudah. Kalau LPG kan dikemas dulu, ada proses pengisian, katup harus dipasang.
Selain sebagai penyalur bahan bakar untuk masyarakat, Pertamina juga terlibat dalam kegiatan CSR. Bagaimana komitmen Pertamina selama ini dalam melaksanakan CSR dan bagaimana pemilihan sasaran CSR?
Kalau komitmen, jangan diragukan lagi. Pertamina bisa dibilang salah satu BUMN yang menyediakan dana cukup besar untuk CSR, didukung lagi oleh wilayah operasi kami yang menyebar. Keberadaan Pertamina ini juga tidak hanya soal bisnis, tapi juga menjaga kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Sebelum kami langsungkan CSR, kami lakukan social mapping yang bisa secara langsung atau undercovered, bahkan mapping melalui lembaga independen untuk menghindari bias. Ada CSR yang sifatnya region, ada juga sifatnya nasional. Jadi di pusat mengadakan suatu program, kami di region ikut menjalankan. Anggaran dari pusat, tidak terpatok setahun ada kegiatan berapa kali, tergantung program yang kami ajukan. Jadi untuk tahun depan kami harus mapping dulu, setelah itu baru mengajukan ke pusat, dan setelah pusat menyetujui baru akan diputuskan kegiatan apa yang akan dilakukan.
Apa saja CSR yang sudah dilakukan oleh Pertamina?
Ada Olimpiade Sains dari sektor pendidikan. Kalau di Balikpapan sendiri CSR yang sudah berjalan ini bantuan untuk peternakan madu dan budi daya rumput laut. Di Banjarmasin ada konservasi Bekantan di Pulau Bakut, targetnya sampai Pulau Bakut bisa jadi area konservasi ekowisata Bekantan.
Apakah bantuan CSR ini berkelanjutan untuk satu sasaran ataukah bersifat satu kali untuk setiap sasaran?
Ada yang berkelanjutan, ada yang sekali untuk spot-spot tertentu. Biasanya kami memberikan waktu lima tahun untuk penerima CSR, sampai mereka sustain menjalankan usaha atau kegiatannya. Karena tidak mungkin terus-terusan menyokong, kami juga ingin penerima CSR juga mandiri. Bantuan yang diberikan Pertamina hanya untuk pemantik awal, pemda setempat juga berperan agar penerima CSR bisa berkembang. CSR pun bukan hanya sekedar rangkaian bantuan, tapi kami harus pastikan usaha yang jadi sasaran pun memberikan manfaat bagi masyarakat lainnya.