TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia menilai turunnya nilai tukar mata uang rupiah, yang ditransaksikan antarbank di Jakarta sebesar tujuh poin menjadi Rp 9.197 per dolar Amerika Serikat kemarin, disebabkan imbas sentimen global yang dirasakan negara berkembang. Sehari sebelumnya, rupiah berada di posisi Rp 9.190 per dolar AS.
Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan beberapa sentimen global itu disebabkan bank sentral Australia (RBA) memangkas suku bunga 50 basis poin dan adanya beberapa data dari Amerika serta Selandia Baru yang memaparkan angka yang lebih baik.
“Sehingga sentimen global ke arah emerging market, termasuk Indonesia, lebih negatif. Sementara, di dalam negeri, kebutuhan valas terus meningkat karena permintaan domestik kuat, impor yang sangat tinggi," ucapnya, Jumat, 4 Mei 2012.
Rupiah juga tercatat melemah sepanjang kuartal pertama tahun ini. Rupiah secara point to point melemah sebesar 0,83 persen (qtq) ke level Rp 9.144 per dolar AS atau secara rata-rata melemah sebesar 0,83 persen (qtq) menjadi Rp 9.066 per dolar AS.
Meski begitu, Perry yakin rupiah bakal menguat. "Tren ke depan, rupiah bakal menguat," ujarnya.
Dalam jangka panjang, rupiah diproyeksikan tetap positif seiring aliran investasi asing masuk (foreign direct investment) ke dalam negeri. "FDI masih strong. Kepercayaan investor asing terhadap ekonomi kita yang kuat,” tutur Perry.
Walaupun, menurut dia, untuk menutup seluruh kebutuhan valasnya tidak cukup sebab masih dibutuhkan aliran masuk portofolio. “Memang sudah masuk kembali, tapi tidak sebesar tahun lalu. Itu kenapa BI masih suplai kebutuhan valas. Meskipun intensitas dan frekuensinya sejak bulan lalu itu lebih rendah dibandingkan bulan-bulan sebelumnya," ucapnya.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi pada triwulan 1 tahun ini tercatat sebesar Rp 71,2 triliun. Ini terdiri dari realisasi investasi penanaman modal dalam negeri sebesar Rp 19,7 triliun dan realisasi investasi penanaman modal asing sebesar Rp 51,5 triliun.
Jumlah ini meningkat 32,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, menurut data BI, portofolio pada triwulan 1 2012 mencapai US$ 1,6 miliar.
"Keyakinan saya, portofolio akan tetap masuk, menambah suplai valas dan membuat apresiasi rupiah," ujarnya. Meski begitu, ia mengakui, kondisi eksternal yakni ekonomi global dan kondisi internal yakni ekspektasi inflasi akibat ketidakjelasan kebijakan penghematan subsidi BBM bakal mempengaruhi pasar.
Aliran masuk investasi asing tampak dari peningkatan cadangan devisa Indonesia. Jika pada Maret 2012 cadangan devisa berada di level US$ 110,5 miliar, pada April 2012, jumlahnya meningkat US$ 4,9 miliar menjadi US$ 114,9 miliar.
MARTHA THERTINA